Nasional

24 Januari 2014: Banjir Besar Iringi Wafatnya Kiai Sahal 

Ahad, 24 Januari 2021 | 02:35 WIB

24 Januari 2014: Banjir Besar Iringi Wafatnya Kiai Sahal 

KH MA Sahal Mahfudh bersama KH Abdurrahman Wahid (Foto: dok Ning Tutik Nurul Jannah)

Jakarta, NU Online
Pati dan beberapa kabupaten di Jawa Tengah terus diguyur hujan sejak Januari 2014. Eskalasi curah hujan yang semakin hari kian tinggi pun memicu banjir besar. Akses di Kecamatan kota Pati hingga Juana nyaris putus. Situasi semakin memprihatinkan menyusul kabar duka pada Jumat dini hari, 24 Januari 2014 pukul 01.10 WIB. 


Di saat banyak Nahdliyin sedang istirahat, tetiba tersiar kabar berpulangnya Rais Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH MA Sahal Mahfudh ke rahmatullah. Kiai Sahal wafat dalam usia 77 tahun. Kabar duka tersebut pun sontak viral di media sosial.


Pagi harinya, warga dari luar kota yang ingin berta’ziyah ke kediaman Kiai Sahal di Kajen, Margoyoso, Pati pun terpaksa gigit jari. Mereka terjebak banjir di sejumlah titik sehingga baru bisa sampai di Kajen pada sore hari. Bahkan, ada beberapa yang terpaksa putar balik. 


Hari ini, 24 Januari tujuh tahun silam, kita mengenang berpulangnya pemimpin tertinggi NU tiga periode (1999-2004, 2004-2010, 2010-2014). KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) yang saat itu menjadi Wakil Rais Aam PBNU otomatis menggantikan posisi Kiai Sahal sebagai Rais Aam.


Saat memperingati tujuh hari wafatnya Kiai Sahal di Kajen, Gus Mus menyebut beliau sebagai rais aam terakhir. Sebab, setelah Kiai Sahal tidak ada lagi kiai sealim Kiai Sahal. Ya, kealiman beliau menurut Gus Mus belum ada yang menyamainya.


"Almaghfurlah KH MA Sahal memiliki keilmuan yang sejajar dengan Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Chasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri. Kedalaman ilmu dan keberpihakannya kepada masyarakat menjadi teladan bagi semua. Sulit rasanya mencari pengganti tokoh sekaliber Kiai Sahal untuk duduk di kursi Rais Aam," kata Gus Mus.


"Bahkan, Kiai Sahal satu-satunya faqih (ulama ahli fikih) yang tidak hanya menguasai ilmu fikih dan ushul fiqh. Beliau juga sangat menguasai ilmu kemasyarakatan. Dengan penguasaan ini, Kiai Sahal mampu membawa kitab yang disusun pada zaman Rasulullah, para sahabat dan tabi'in untuk disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini," tambah Gus Mus sebagaimana diwartakan NU Online 29 Januari 2014.


Gus Mus dalam sambutan berbahasa Jawa halus menyampaikan testimoni terkait sosok Rais Aam yang dikaguminya itu. "Suatu ketika, pada forum Munas NU di Lampung Mbah Sahal hampir dipastikan jadi Rais Aam menyusul wafatnya Kiai Ahmad Shiddiq. Sayangnya, beliau tidak berkenan menjadi Rais Aam. Akhirnya, ulama di bawah beliau pun pada tidak mau. Saya saksi hidup di forum itu," kata Gus Mus.


Pengasuh Pesantren Raudlatuth Thalibin Leteh Rembang ini menambahkan, Kiai Sahal pada era Rais Aam KH Wahab Chasbullah dan Rais Aam KH Bisri Syansuri telah sering dilibatkan dalam forum bahtsul masail. Para kiai sepuh mengetahui kualitas Kiai Sahal yang sangat mumpuni. Murid Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani ini telah terbukti kealimannya di forum-forum internasional.


"Salah satu ciri ulama yang nyegoro (ilmunya bak seluas lautan) ilmu agamanya itu tidak kagetan. Sampeyan pernah lihat Mbah Sahal kaget? Tidak pernah to..?! Tidak seperti kiai-kiai lainnya. Ada Syiah kaget, ada Ahmadiyah kaget. Ada Ulil Abshar Abdalla kaget," seloroh Gus Mus disambut tawa hadirin.


Menurut Gus Mus, Kiai Sahal muda juga merupakan sosok organisatoris yang andal. Beliau sangat aktif di organisasi NU. "Saya kenal Kiai Sahal itu pada era 1980-an. Saat beliau menjadi Katib Syuriyah PWNU Jateng, saya wakilnya. Beliau lalu menjadi rais, saya katib. Hingga beliau masuk jajaran rais di PBNU saya masih tetap katib mawon," terang Gus Mus yang lagi-lagi diiringi derai tawa.


Pada haul pertama Kiai Sahal yang digelar di Pesantren Maslakul Huda Kajen Margoyoso Pati, Selasa (13/01/15), Gus Mus lagi-lagi didaulat menyampaikan testimoni. Bagi kiai budayawan ini, rais aam terkecil dan terakhir itu Kiai Sahal.


"Sejak Munas NU di Lampung sebetulnya beliau sudah jadi rais aam ketika Kiai Ali Yafie mundur. Jadi, mestinya beliau jadi rais aam karena sebelumnya sebagai wakil rais aam. Nah, karena Kiai Sahal ndak kerso (mau) karena satu hal, akhirnya wakil-wakil di bawah beliau ndak ada yang mau," ungkap Gus Mus.


Untungnya, lanjut Gus Mus, ada kiai yang sangat ikhlas, yakni KH Ilyas Ruhiat dari Cipasung Jawa Barat. “Beliau lalu bicara pelan-pelan, ‘ini kalau ndak ada yang mau kan vakum ini. Organisasi sebesar ini ndak ada pejabat rais aam-nya. Beliau ucapkan itu dengan ikhlas. Kalau memang ndak ada yang mau, ya sudah saya juga ndak apa-apa,” tutur Gus Mus menirukan pernyataan Kiai Ilyas.


Menurut Gus Mus, dirinya menjabat rais aam (pengganti KH Sahal Mahfudh) itu di luar ekspektasinya. "Saya ini kecelakaan (saja). Saya tidak tahu kalau di AD/ART NU produk Muktamar Makassar itu ada klausul apabila Rais Aam berhalangan tetap maka Wakil Rais Aam menjabat Rais Aam. Kalau saya tahu, ya ndak mau saya. Saya juga ndak tahu kalau Kiai Sahal akan meninggal," ujar Gus Mus jenaka.


Masih kata Gus Mus, jika Pati dan sekitarnya pada saat berpulangnya Kiai Sahal tidak dikepung banjir, bukan tidak mungkin Kajen akan rusak. "Ini bisa rusak karena banyaknya para zairin yang hendak memberi penghormatan terakhir kepada beliau," tandasnya. 


Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan