Nasional

4 Perubahan Dasar dalam Tatanan Peradaban Dunia Baru menurut Gus Yahya

Sel, 14 Februari 2023 | 15:00 WIB

4 Perubahan Dasar dalam Tatanan Peradaban Dunia Baru menurut Gus Yahya

Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Al Makin, Presiden Badan Kepausan untuk Dialog Lintas Agama Vatikan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, dan Dewan Pakar Majelis Pelayanan Sosial Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sudibyo Markus di Auditorium Prof H M Amin Abdullah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Senin (13/2/2023). (Foto: NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau yang dikenal Gus Yahya menuturkan bahwa ada empat perubahan mendasar yang menjadi wajah baru bagi peradaban umat manusia secara keseluruhan.

 

“Empat perubahan mendasar dapat kita tandai, yaitu perubahan tatanan politik internasional, perubahan demografi dan kewargaan, perubahan dalam standar norma-norma (‘urf), dan globalisasi,” kata Gus Yahya sebagaimana termaktub dalam naskah pidato Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan UIN Sunan Kalijaga, dikutip NU Online, Selasa (14/2/2023).

 

Ia lantas menjabarkan satu per satu secara mendetail. Pertama, soal perubahan tatanan politik internasional. Pada masa lalu, hampir setiap negara atau kerajaan menyandang identitas agama. Pada masa kini, sebagian besar negara-negara yang ada telah melepaskan identitas agama dan menggantinya dengan identitas nasional.

 

“Pada masa lalu, tidak ada rezim perbatasan antarnegara, sehingga hubungan antarnegara berlangsung senantiasa dalam kerangka interaksi militer,” jelas tokoh kelahiran Rembang, 1966 itu.

 

Bahkan, lanjut dia, negara-negara yang secara geografis bersandingan satu dengan lain cenderung terjebak dalam perang abadi di garis batas jangkauan militer masing-masing.

 

“Saat ini, dengan adanya rezim internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka perbatasan antarnegara jauh lebih terjamin kemapanannya sebagai batas-batas kedaulatan masing- masing,” imbuhnya.

 

Kedua, terang dia, perubahan demografi dan kewargaan. Migrasi mengikuti aspirasi dan kontak-kontak ekonomi mendorong pergerakan manusia melintasi batas-batas negara. Hal itu, memunculkan potret demografis yang sangat heterogen di berbagai kawasan.

 

Heterogenitas itu, sambung dia, ditandai dengan tumbuhnya komunitas muslim dalam jumlah yang signifikan di kawasan-kawasan yang pada masa lalu hanya memiliki penduduk non-muslim saja, seperti di Eropa, Amerika, dan kawasan-kawasan lainnya.

 

“Pada masa lalu, karena setiap negara atau kerajaan menggunakan identitas agama, maka status kewarganegaraan didasarkan pula atas identitas agama dari penduduknya, dan supremasi agama penguasa dijadikan landasan penilaian,” jelas dia.

 

Penduduk yang memeluk agama berbeda dari agama negara, menurutnya, cenderung dipersekusi atau sekurang-kurangnya diberi status sebagai warga kelas dua. Berbeda dengan saat ini, negara mentolelir identitas agama bagi warganya.

 

“Pada masa kini, dengan dilepaskannya identitas agama, maka negara mentolerir keragaman identitas agama di antara warganya,” tambah tokoh yan pernah menjabat sebagai Jubir Presiden Gus Dur itu.

 

Ketiga, papar dia, perubahan dalam standar norma-norma (‘urf). Jika dahulu persoalan yang berkaitan dengan hak-hak kemanusiaan, seperti perbudakan, penjajahan, diskriminasi, dan lainnya masih ditolelir. Saat ini, masalah-masalah itu sudah dianggap kejahatan menurut norma yang ada.

 

“Praktik-praktik mengabaikan sebagian hak-hak kemanusiaan yang pada masa lalu ditolerir, kini secara umum dipandang sebagai kejahatan menurut standar norma-norma keadaban,” jelas dia.

 

Keempat, kata dia, globalisasi yang didorong oleh interaksi-interaksi ekonomi dan perkembangan teknologi telah menjadikan batas-batas fisik, yaitu batas-batas geografis, maupun batas-batas politik antarbangsa semakin kurang relevan dalam dinamika sosial.

 

“Perkembangan teknologi juga telah secara dramatis menjembatani jarak fisik, sehingga setiap peristiwa yang terjadi di manapun berpotensi memicu rangkaian konsekuensi-konsekuensi global,” kata dia.

 

Ia juga menjelaskan, seiring dengan perubahan-perubahan tersebut, masyarakat internasional masih bergulat untuk mengatasi berbagai ancaman konflik, baik yang merupakan warisan dari konstruksi peradaban lama maupun yang lahir dari dinamika politik yang baru.

 

“Yang jelas bahwa fokus pergulatan masyarakat Internasional dalam hal ini adalah mencegah terulangnya perang-perang besar seperti perang dunia pertama dan kedua,” tandas Gus Yahya.

 

Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Aiz Luthfi