Nasional RISET BLA JAKARTA

5 Falsafah Hidup Masyarakat Lampung

Sab, 28 Desember 2019 | 04:45 WIB

5 Falsafah Hidup Masyarakat Lampung

Festival masyarakat adat Lampung (Foto: Indonesiakaya.com)

Kajian terhadap naskah Oendang-Oendang Adat Krui yang dilakukan Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI tahun 2019 menyebutkan cerminan perilaku masyarakat Lampung yang menjunjung nilai-nilai luhur yang dirangkum dalam lima falsafah hidup orang Lampung. Kelima falsafah hidup tersebut yaitu pi’il senggiri, sakai sembayan, nemui nyimah, nengah nyappur, dan bejuluk beadek. 
 
Pi’il senggiri adalah prinsip yang mengedepankan harga diri dalam berperilaku untuk menegakkan nama baik dan martabat pribadi maupun kelompoknya. Sakai sembayan adalah prinsip hidup yang mengedepankan gotong royong, tolong menolong, bahu membahu dan saling memberi.
 
Nemui nyimah adalah prinsip hidup yang mengedepankan kemurahan hati dan ramah tamah terhadap semua pihak yang berhubungan dengan mereka. Nengah nyappur adalah prinsip hidup yang mengedepankan keterbukaan. Adapun bejuluk beadek adalah pemberian gelar kepada masyarakat Lampung yang didasarkan pada tata ketentuan pokok yang selalu diikuti (titei gemattei). 
 
Ketentuan tersebut menghendaki agar seseorang di samping mempunyai nama yang diberikan orang tuanya, juga diberi gelar oleh orang dalam kelompoknya sebagai panggilan terhadapnya. Bagi orang yang belum berkeluarga diberi juluk (bejuluk) dan setelah ia menikah akan diberi adek (beadek). Nilai-nilai Islam yang terkandung di dua pasal yang dikaji adalah: konsisten dengan perjanjian, bekerjasama dalam kebaikan, dan larangan bersifat tamak (rakus).
 
Pada penelitian berjudul Eksplorasi dan Digitalisasi Naskah-naskah Lampung, peneliti menyebutkan bahwa kajian terhadap naskah Oendang-Oendang Adat Krui adalah bagian dari upaya mempublikasikan naskah Lampung yang secara substantif punya basik lokal yang sangat kental dan tema yang diangkat juga masih tetap aktual.
 
Dua dari yang lima falsafah tersebut, yaitu pi’il senggiri dan sakai sembayan ada relevansinya dengan dua pasal pada Oendang-Oendang Adat Krui yakni salah atau larangan kepada bumi dan air. Dua pasal ini menggambarkan kehidupan masyarakat Krui yang bergerak di bidang pertanian. Hal tersebut peneliti simpulkan setelah melihat beberapa pasal, seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan. Dua isu ini masih aktual hingga saat ini, karena dua hal ini merupakan kebutuhan mendasar setiap individu.
 
Pi’il senggiri adalah prinsip yang mengedepankan harga diri dalam berperilaku untuk menegakkan nama baik dan martabat pribadi maupun kelompoknya. Sakai sembayan adalah prinsip hidup yang mengedepankan gotong royong, tolong menolong, bahu membahu, dan saling memberi.
 
Hasil penelitian juga menyebutkan falsafah pi’il senggiri dan sakai sembayan adalah hasil cipta karsa dan olah rasa masyarakat Lampung melalui proses pembiasaan yang berulang-ulang hingga diyakini sebagai nilai-nilai luhur (kebudayaan) dan diyakini sebagai doktrin kebenaran. Keyakinan dan kebenaran adalah kekuatan agama yang bersifat universal.
 
"Dengan keyakinan bahwa pi’il senggiri dan sakai sembayan adalah sebuah kebenaran maka ia dijadikan falsafah hidup oeh masyarakat Lampung. Di sinilah teori sosiologi agama Thomas F Odea menemukan relevansinya (agama sebagai sentral kebudayaan)," tulis para peneliti dalam laporan tersebut.
 
Selain itu, kerja sama antara pemilik lahan dan penggarap dengan pola bagi hasil adalah sifat terpuji yang sangat dianjurkan Allah. Hal ini juga selaras dengan filosufi orang Lampung yaitu sakai sembayan yang mengedepankan budaya gotong royong, saling bahu membahu, dan saling memberi.

Pengkhianatan terhadap akad transaksi yang dilakukan oleh salah satu dari mereka yang bertransaksi yaitu pemilik lahan dan penggarap, hanya akan menjatuhkan harga diri (pi’il senggiri). Perbuatan tersebut dalam agama termasuk dalam kategori perbuatan tercela. Pengkhianatan terhadap perjanjian itu (akad kerja sama) dipicu oleh sikap tamak (rakus). 
 
Dalam konteks pemakaian air adalah untuk kepentingan irigasi pertanian. Krui merupakan daerah pesisir, ketersediaan air tawar mungkin terbatas. Maka sikap saling tolong menolong sesama petani dalam pembagian air (sakai sembayan), tradisi yang harus ditumbuhkan.

Aturan diperlukan, karena kejahatan ada di dunia ini seiring dengan adanya manusia. Keinginan melakukan kejahatan inheren dalam diri setiap individu. Karena manusia memiliki nafsu dalam konteks naskah ini 'tamak'. Sifat tamak ini dapat menjerumuskan manusia melakukan pelanggaran baik terhadap bumi (tanah) maupun terhadap air (salah kepada bumi dan salah kepada air).
 
Naskah Oendang-oendang Adat Krui ditulis oleh seorang petani pisang di daerah Batuberak, salah satu wilayah di Lampung Barat. Lampung hingga saat ini termasuk daerah produsen pisang. Di samping itu dia juga sebagai seorang Muslim yang taat dan seorang guru yang mengajarkan Al-Qur'an kepada anak-anak. 
 
 
Editor: Kendi Setiawan