Nasional

Akademisi: Politik Identitas Rusak Mimpi tentang Republik

Sab, 6 Januari 2024 | 08:00 WIB

Akademisi: Politik Identitas Rusak Mimpi tentang Republik

Gambar hanya ilustrasi. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Akademisi Universitas Nasional Andi Achdian menegaskan bahwa politik identitas berdampak destruktif atau merusak terhadap mimpi yang dicita-citakan para pendiri bangsa tentang Republik Indonesia.


"Kerusakannya sangat parah, merusak sebuah mimpi tentang republik. Mimpi republik itu dicetuskan dalam konstitusi, masyarakat adil makmur," ujarnya kepada NU Online, pada Kamis (4/1/2024).


Andi mengatakan, penggunaan politik identitas mempersempit ruang publik yang sudah terbuka bagi segenap bangsa yang sudah disatukan para pendiri negeri dengan adanya Pancasila.


"Mereka merumuskan Pancasila supaya tidak lagi membawa identitas personal ke dalam raung publik. Di ruang publik diatur Pancasila," katanya.


Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan merupakan wujud kesadaran bangsa Indonesia tentang sifat dari karakternya. Sebab menurut Andi, karakter masyarakat Indonesia secara historis tidaklah homogen. 


"Kita beda dengan Prancis atau Inggris yang mewariskan kerajaan lama. Kita lahir dari kolonial yang tadinya terpisah-pisah," ujarnya.


Di masa lalu, orang Sumatra tidak memandang orang Jawa sebagai satu bangsa, tetapi sebagai orang lain. Makanya pada politik abad 20, para pendiri bangsa menjahit ruang-ruang kecil berdasarkan suku, pulau, ras atau semacamnya menjadi satu dalam ruang besar bernama Indonesia. Pancasila itulah yang menjadi wujud perjanjain politik yang ideal bagi bangsa ini.


"Kalau kemudian muncul keagamaan, suku, atau ras itu sebuah langkah mundur dari cita-cita mimpi Republik. Karena efeknya membelah masyarakat secara vertikal dan horizontal," kata Ketua Program Studi Sosiologi Universitas Nasional itu.


Oleh karena itu, Andi menegaskan perlunya Reformasi Jilid Kedua dengan rumusan politik yang lebih beradab. Hal tersebut, menurutnya, menjadi tugas sesama bangsa. 


"Perlu rumuskan Politik Beradab di kalangan milenial karena sudah usang politik identitas," katanya.


Sebagaimana diketahui, beberapa hari ini ramai pembicaraan mengenai sosok Arya Wedakarna, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang tampak memanfaatkan populisme dan mengeksploitasi politik identitas untuk meraih dukungan publik. Hal ini tampak saat rapat Komite I DPD dengan jajaran Bandara Ngurah Rai pada akhir Desember 2023 lalu. 


Dalam kesempatan itu, Arya mengungkapkan tidak perlu ada petugas berjilbab di front line Bandara Ngurah Rai Bali. Ia menginginkan agar petugas di tempat tersebut rambutnya terlihat karena Bali disebutnya bukanlah Timur Tengah. Sontak hal itu menuai kontroversi dan berbuntut pelaporan oleh sejumlah pihak ke kepolisian.