Akses Bagi Penyandang Disabilitas di Istiqlal adalah Revolusi Fiqih dan Kebudayaan
Kamis, 15 Agustus 2019 | 13:50 WIB
"Ini sebuah gerakan revolusioner. Artinya, satu dalam hal fiqih, dak yang kedua dalam hal kebudayaan," kata pria yang kerap disapa Cak Fuad ini kepada NU Online, Rabu (14/8) di Gedung PBNU, Jakarta Pusat.
Menurut Cak Fuad, selama ini, anggapan yang muncul tentang kursi atau tongkat yang digunakan penyandang disabilitas adalah sebagai barang yang najis, sehingga jika mau melaksanakan shalat di masjid, alat bantu penyandang disabilitas tersebut tidak boleh masuk ke masjid.
“Sehingga sering kali teman-teman difabel pengguna kursi roda, pengguna tongkat, dia harus meninggalkan alat-alatnya di luar masjid dan juga pengguna tongkat itu dia harus meninggalkan tongkat-tongkat itu di luar masjid, dan dia harus masuk ke masjid dengan merangkak,” ucapnya.
Namun, pada pelaksanaan shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal kemarin, kursi roda bisa masuk ke dalam masjid, bahkan berada di shaf terdepan berjejer dengan pejabat VIV.
“Ini menjadi sesuatu yang luar biasa. Artinya bahwa selama ini belum pernah terjadi orang shalat dengan menggunakan kursi roda. Kalau kursi biasa kan umum disediakan masjid, tapi ini kursi roda digunakan orang dari rumah, lewat jalan, kemudain wudlu dan masuk ke dalam masjid dan di atas karpet. Nah ini kan sesuatu yang belum terjadi selama ini,” terangnya.
Persoalan lain, sambung pria yang tengah mengambil Program Doktoral Departemen Sosiologi Universitas Indonesia ini, terjadi pada penyandang tuna rungu, yang ketika shalat Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha belum pernah mendengarkan isi khutbah.
Menurutnya, selama ini penyandang disabilitas dianggap sebagai orang yang sakit, sehingga pendekatan yang dipakai dalam fiqih adalah rukhsah (keringanan), yakni tuna rungu tetap sah shalatnya, meskipun tidak bisa mendengarkan khutbah. Namun, ia menilai, penyandang tuna rungu juga penting untuk mendengarkan khutbah.
“Disabilitas tuna rungu belum pernah kalau khutbah bisa mengikuti isinya secara penuh, tapi kemarin di Istiqlal, panitia menyediakan layar besar dua kemudian disebar dengan layar TV LCD. Itu yang isinya pertama adalah gambar khotib dan satunya juru Bahasa isyarat. Teman-teman semua merasa gembira. Jadi ini adalah sebuah revolusi dalam hal fiqih,” terangnya.
Sementara revolusi dalam hal kebudayan, katanya, terjadinya interaksi penyandang disabilitas dengan masyarakat yang lain secara biasa. Penyandang disabilitas tidak dipandang sebagai manusia yang harus diberi belas kasihan.
“Mereka (penyandang disabilitas) dibiarkan saja, wajar-wajar saja, karena memang kami dipandang sebagai anggota masyarakat yang punya hak yang sama. Ini saya pikir mengubah kebudayaan kita berinteraksi secara setara,” ucapnya.
Sementara sebelumnya, menurut pria kelahiran Kediri, Jawa Timur ini, stigma negatif muncul dari masyarakat bahwa penyandang disabilitas perlu dibelaskasihani dan di dalam strata masyarakat pun menempati kelompok yang termarjinalkan. (Husni Sahal/Fathoni)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Perhatikan 4 Hal Ini Agar Amal Ibadah Diterima Allah
2
Khutbah Jumat: Pendidikan sebagai Kunci dalam Menggapai Impian
3
Khutbah Jumat: Bersemangatlah, Mencari Nafkah adalah Ibadah
4
Kongres XIII JATMAN Siap Digelar di Asrama Haji Donohudan Boyolali pada 21-22 Desember 2024
5
Khutbah Jumat: Merawat Alam Sebagai Wujud Kepatuhan Terhadap Perintah Agama
6
7 Hari Wafatnya Syekh Hisham Kabbani: Melihat Gerak Dakwahnya di Amerika
Terkini
Lihat Semua