Nasional

Ini Tawaran Jalan Tengah PBNU Terkait Kepulangan WNI Eks ISIS

Rab, 14 Agustus 2019 | 13:00 WIB

Ini Tawaran Jalan Tengah PBNU Terkait Kepulangan WNI Eks ISIS

Sejumlah anak dan perempuan yang mengaku warga Indonesia ditemukan berada di antara ribuan petempur asing ISIS di kamp pengungsi di Al-Hol, Suriah timur. (Afshin Ismaeli/bbc)

Jakarta, NU Online
Banyak negara menghadapi persoalan tentang bagaimana memperlakukan eks pendukung kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Banyak negara memutuskan menolak kembali warganya yang bergabung dengan ISIS dan mencabut status kewarganegaraannya. Namun ada juga negara yang menerima kembali warganya usai mereka menjadi bagian dari ISIS.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah sebaiknya menerima kembali warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS atau menolak menerima mereka balik ke Indonesia?

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Wasekjen PBNU) M Imdadun Rahmat menilai, persoalan eks pendukung ISIS adalah persoalan yang dilematis bagi Indonesia. Di satu sisi, Indonesia terikat dengan hukum internasional tentang hak asasi manusia dan pengungsi. Dimana negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak boleh menolak kehadiran warga negara yang berstatus sebagai pengungsi dengan alasan apapun.

“Termasuk dalam konteks eks ISIS ini. Saat ini mereka statusnya adalah sebagai pengungsi,” kata Imdad saat dimintai keterangan NU Online, Rabu (14/8). 

Dia menambahkan, negara-negara anggota PBB juga terikat dengan norma hak asasi manusia berupa larangan mencabut kewarganegaraan seseorang. Hal itu dikarenakan status kewarganegaraan seseorang adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi negara anggota PBB.

Di sisi lain, menurutnya, kehadiran WNI eks pendukung ISIS ke Indonesia akan menimbulkan tantangan dan masalah tersendiri. Paham keagamaan dan ideologi yang mereka miliki bisa menjadi ancaman yang potensial bagi keamanan dan memperumit persoalan radikalisasi di Indonesia. 

Ia membeberkan, ada jalan tengah yang bisa ditempuh Indonesia terkait dengan WNI eks pendukung ISIS. Yakni Indonesia menyerahkan persoalan ini ke UNHCR (badan PBB yang menangani persoalan pengungsi) terlebih dahulu. Ia memaparkan, kelompok ISIS terbentuk atas hasil kerja sama antara Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi untuk menggulingkan Presiden Suriah, Bashar al-Assad, yang dengan Iran.

“Karena lemahnya badan PBB, maka strategi atau manuver politik mereka menjadi sumber dari munculnya ketidakstabilan di Timur Tengah memunculkan konflik dan perang. Dan perang inilah yang menarik para simpatisan ISIS ke Irak dan Suriah,” jelas Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute ini.

“Mereka harus bertanggung jawab untuk menanggung kosekuensi dari sikap lembek mereka terhadap policy yang dibuat negara-negara anggota PBB sendiri. Dan itu adalah anggota tetap Dewan Keamanan, yaitu Amerika,” lanjutnya.

Oleh karena itu, lanjut Imdad, persoalan eks pendukung ISIS biar saja terlebih dahulu ditangani UNHCR dan menjadi tanggung jawab PBB. Dengan begitu, mereka berbagi beban dengan negara-negara seperti Indonesia terkait dengan persoalan baliknya eks ISIS. 

“Indonesia menurut saya jalan tengahnya bersikap pasif saja dulu, biar mereka ditangani UNHCR. Sampai kemudian ada kesepahaman dengan dunia internasional dan badan-badan pengawas hak asasi manusia untuk mereka sepakat ada special treatment (perlakuan khusus) kepada eks ISIS ini,” paparnya.

Imdad menjelaskan, perlakuan khusus (special treatment) yang dimaksud adalah membiarkan Indonesia melakukan penyelidikan dan penyidikan apakah WNI eks ISIS terlibat dalam kejahatan –baik pidana ataupun terorisme- selama di sana atau tidak. Dengan begitu, penegak hukum nanti bisa mengambil tindakan hukum kepada mereka.

“Atau kalau mereka tidak bisa dijerat dengan delik pidana atau terorisme, mereka memerlukan deradikalisasi. Deradikalisasi tentu perlu expertise, dana. Bagaimana kita bernegosiasi dengan badan-badan internasional untuk melakukan special treatment deradikalisasi agar tidak membebani Indonesia yang sudah terbebani dengan program deradikalisi bagi napi eks napiter yang ada di Indonesia,” urainya.

Ia menambahkan, Indonesia butuh bantuan dari dunia internasional terkait dengan penangangan eks ISIS. Sehingga kalau seandainya Indonesia memutuskan menerima kembali eks ISIS maka Indonesia memiliki sumber daya untuk melakukan perlakuan khusus (special treatment) kepada mereka. 

“Selain itu special treatment yang saya maksud, bisa jadi adalah tindakan-tindakan pengurangan terhadap kebebasan dan keleluasaan mereka. Kita khawatir kalau Indonesia nanti melakukan deradikalisasi secara intensif, maka Indonesia akan kena tuduhan kamp konsentrasi seperti yang dilakukan China terhadap kelompok-kelompok yang dekat dengan kelompok radikal di China bagian barat,” jelasnya.

Ia mengatakan, Indonesia akan repot kalau tidak ada dukungan pendanaan program dari badan-badan internasional dan tanpa ada kesepahaman bahwa deradikalisasi intensif bukan pelanggaran hak asasi manusia. 
 
“Sekali lagi, ini simalakama bagi Indonesia. Dunia internasional jangan menutup mata terhadap problem dari negara-negara asal. Jangan sampai Amerika dan sekutunya yang menabur angin, nanti negara-negara yang tidak berkepentingan dengan itu harus menuai badai. Itu tidak adil. Oleh karenanya, kita tunggu partisipasi dari dunia internasional untuk bersama-sama meng-handle eks ISIS,” tukasnya. (Muchlishon)