Nasional MUKTAMAR KE-34 NU

Aktivis Disabilitas Harap Keputusan Muktamar Berdampak pada Hukum Positif 

Jum, 24 Desember 2021 | 00:30 WIB

Aktivis Disabilitas Harap Keputusan Muktamar Berdampak pada Hukum Positif 

Suasana Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudlu’iyyah. (Foto: NU Online/Abror)

Bandarlampung, NU Online 
Para penyandang disabilitas sejauh ini masih menjadi kajian minoritas. Akibatnya, kebijakan-kebijakan publik terkait mereka belum maksimal menyentuh hukum positif. Sehingga, negara belum memenuhi hak-haknya secara maksimal sebagai manusia dan warga negara.


Hal ini disampaikan oleh Aktivis Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas Lampung Abdullah Fikri kepada NU Online, Kamis (23/12/2021).


Oleh karena itu, ia berharap keputusan Muktamar ke-34 NU melalui Komisi Bahtsul Masail Maudlu’iyyah terkait Pandangan Fiqih Islam terhadap Orang dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) tidak sebatas menjadi rumusan-rumusan fiqih dalam konteks kajian.  Akan tetapi juga menjadi hukum positif agar memiliki implementasi konkret.


“Misalkan kebijakan hak waris bagi ODGJ. Jika dimasukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hakim akan lebih kuat dalam memutuskan sesuatu jika suatu saat terjadi isu-isu terkait,” ujar Fikri yang juga salah satu anggota Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudlu’iyyah.


Dalam pandangannya, Fikri menegaskan, Muktamar NU ataupun NU itu sendiri, memiliki kekuatan yang luar biasa, baik dari sisi masyarakat maupun politisnya. Oleh sebab itu, dengan mengangkat isu-isu disabilitas, artinya organisasi kemasyarakatan terbesar ini mengkaji pembahasan fiqih yang selama ini masih menjadi pembahasan minoritas.


Dosen hukum di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur itu juga menyampaikan, fiqih disabilitas sejauh ini masih berorientasi pada rukhshsah (dispensasi hukum), tatapi belum menyentuh pada langkah-langkah konkret untuk memenuhi hak-hak para penyandang disabilitas itu sendiri.


Misal saja, lanjut Fikri mencontohkan, orang yang memiliki tunarungu melaksanakan shalat Jumat. Dalam fiqih disabilitas, tunarungu mendapatkan rukhshah untuk tidak mendengarkan materi khutbah yang disampaikan khatib sehingga shalat Jumatnya tetap sah.


“Akan lebih baik jika para kiai memutuskan agar penyandang tunarungu diberi akomodasi yang layak sebagai penunjang dan dukungan untuk memahami isi khutbah. Misalkan dengan menghadirkan juru bahasa untuk mentransformasi teks khutbah sehingga dipahami olehnya,” lanjut Fikri.


Contoh lainnya, papar Fikri, seperti orang yang mengalami tunanetra ketika hendak ke masjid untuk mengikuti shalat berjamaah. Agar tetap bisa berjamaah sebagaimana orang normal pada umumnya, harus difasilitasi dengan layak, bukan sekadar diberi rukhshah untuk tidak berjamaah.


Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Musthofa Asrori