Nasional

Aktivis NU: Mental Petani Dirusak

NU Online  ·  Rabu, 29 Oktober 2014 | 12:26 WIB

Jakarta, NU Online
Pekerjaan sebagai petani semakin lama semakin tidak diminati anak muda. Anak seorang guru masih mau mengikuti jejak orang tuanya. Begitu juga pada profesi lain seperti pedagang, dan jenis wiraswasta lain. Tapi lain lagi dengan petani. Jarang ditemukan anak petani ingin jadi petani.
<>
Persoalan itu pemicu diskusi anak muda NU di kantor redaksi NU Online, gedung PBNU, Jakarta, Rabu (29/10). Diskusi dengan format ngobrol santai tersebut dalam rangka menyambut Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang akan berlangsung di PBNU 1-2 November ini.

Pada diskusi yang dimoderatori Hamzah Sahal tersebut, juga dikemukakan bahwa sangat masuk akal jika anak petani tak ingin jadi petani. Pemred NU Online, Savic Ali menyebut, jika anak petani melanjutkan pekerjaan orang tuanya sama dengan bunuh diri. Karena para petani, khususnya penanam padi, bukan malah untung, melainkan rugi.

Aktivis senior NU, H Helmi Ali memperkuat data hal itu dari media massa, sejak tahun 2003 di Indonesia ada sekitar 5 juta yang meninggalkan dunai pertanian. Mereka beralih pada buruh pabrik ke kota dan profesi-profesi lain.

Kalau kita lihat kehidupan petani, sambung putra KH Ali Yafi ini, berada di lapis paling bawah daripada buruh. “Pendapatan petani sekitar sejuta sebulan dibanding buruh. Itu di bawah upah minimum regional (UMR). Sangat memprihatinkan,” katanya.

Kehidupan petani, sambung aktivis pertanian di Field Indonesia ini, yang seperti itu menyebabkan mental petani rusak. Kemudian meniggalkan dunia beralih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri atau menjadi buruh di perkotaan .

Ulil Absar dari Lajnah Ta’lif wa-Nasyr Nahdlatul Ulama, menyela pendapat Helmi Ali terkait mental. Menurut dia, bukan rusak dengan sendirinya, tapi dirusak. Kalau dirusak, berarti ada yang merusak. “Mentalnya dirusak,” katanya.

Terkait mental, Helmi menyebut soal kebijakan negara. Menurut dia, sejak Orde Baru (Orba) tidak ada perlndungan kepada petani. Negara malah melindungi industri pertanian seperti perusahaan pupuk dan obat-obatan.

Sejak revolusi hijau, kata dia, petani tidak bisa membibitkan lagi tanaman. Pembibitan diambil alih perusahaan-perusahaan. “Suatu ketika petani dipaksa menanam varietas tertentu yang disebut unggul. Itu ternyata nggak memperbaiki nasib petani. Mental petani sudah rusak,” katanya. (Abdullah Alawi)