Nasional MODERASI BERAGAMA

Akulturasi Budaya Hindu dalam Arsitektur Masjid di Pesantren

Sen, 22 November 2021 | 12:30 WIB

Akulturasi Budaya Hindu dalam Arsitektur Masjid di Pesantren

Ilustrasi: Masjid Agung Buntet Pesantren Cirebon. (Foto: dok.

Satu hal yang tak terpisahkan dari sebuah pondok pesantren adalah masjid. Tempat ini bukan saja menjadi tempat peribadatan, melainkan juga jadi pusat pengembangan intelektual. Kiai mengajarkan berbagai macam kitab kepada para santrinya secara bandungan.

 

Para santri juga kerap memilih masjid sebagai tempat untuk mendaras pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari bersama kiainya, selain juga untuk menghafal berbagai nazam sebagai prasyarat mengikuti pembelajaran.


Semilir angin dari berbagai arah akan dengan mudah membelai para santri yang duduk santai bersandar pada pagar tiang-tiang kayu jati atau pagar yang mengelilingi masjid yang disebut seroja. Masjid yang memang didesain terbuka itu memberikan kenyamanan tersendiri bagi para santri yang tengah mendaras.


Jika lapar ataupun haus melanda, santri dapat menuruni lima anak tangga di bagian timur yang melambangkan rukun Islam. Setelahnya, santri dapat berjalan menghampiri para pedagang aneka jajanan dan minuman yang dijajakan masyarakat sekitar di halaman masjid. Dari sana, akan tampak atap masjid sangat berbeda dengan arsitektur masjid kekinian. 


Begitulah gambaran ringkas Masjid Agung Pondok Buntet Pesantren, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat. Perbedaan arsitektur yang mencolok dengan masjid-masjid kekinian karena masjid ini dibangun sekitar pertengahan abad 19.


Bagian atap Masjid Agung Buntet Pesantren mengambil konsep bangunan atap bersusun tiga. Hal ini mengambil konsep meru dari Hindu.

 

Meru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V memiliki empat arti, (1) gunung dalam mitologi Hindu tempat persemayaman para dewa dan makhluk kedewaan, serta menjadi pusat jagat raya; (2) ragam hias berbentuk segitiga sebagai lambang persemayaman dewa; (3) bangunan yang terdapat di kuil, merupakan tempat persembahan, terdiri atas 3–11 atap atau tingkat (di Bali), dan (4) atap bangunan pura yang bersusun dan makin ke atas makin kecil.


Uka Tjandrasasmita menjelaskan dalam Arkeologi Islam Nusantara (2009: 240) bahwa setidaknya ada dua alasan mengapa konsep meru digunakan sebagai bagian dari arsitektur masjid-masjid kuno.

 

Pertama, dari sisi yang lebih teknis, konsep meru tersebut memudahkan air untuk meluncur ke bawah jika terjadi hujan, sedangkan bagian yang lowong di antara tiga tingkatan itu merupakan ventilasi guna memberikan kemudahan untuk udara masuk ke dalam masjid.


Kedua, konsep meru ini dianggap sebagai bangunan suci tempat para dewa. Pengambilan bentuk tersebut dalam arsitektur masjid sebagai upaya para wali penyebar Islam untuk tidak menimbulkan kekagetan budaya (cultural shock) bagi masyarakat setempat yang pada saat itu masih menganut agama Hindu Buddha.


Ketua Dewan Khidmat Masjid (DKM) Masjid Agung Buntet Pesantren KH Ade Nasihul Umam menyampaikan bahwa pemilihan meru sebagai atap Masjid Agung Buntet Pesantren merupakan adopsi dari konsep Masjid Agung Demak yang saat itu tengah menjadi tren di zamannya. Setiap ornamen dan unsur-unsur yang mendukung arsitektur masjid, menurutnya, tidak bisa lepas dari tren di masanya.


“Zaman itu yang jadi kiblat dari masjid-masjid yang sifatnya saat itu sudah bisa dikatakan modern atau tidak hanya berupa surau yaitu Masjid Agung Demak. Makanya, Masjid Agung Buntet Pesantren itu kalau dilihat bagian atasnya persis seperti Masjid Demak,” katanya.


Sementara itu, tiga tingkatan pada bagian meru tersebut memiliki makna filosofis tersendiri, yakni tingkatan keberagamaan seorang Muslim, yakni iman, islam, dan ihsan.

 

Beberapa bagian di Masjid Agung Buntet Pesantren memang memiliki maknanya yang khas, mulai dari dua kamar di bagian utara dan selatan sebagai makna keseimbangan dan dua kalimat syahadat, sembilan pintu ruang utama yang menyimbolkan walisongo, hingga ruang utama yang hanya mampu menampung 99 orang melambangkan asmaul husna.


Kemudian, profil yang ada di Masjid Agung pondok pesantren itu juga sama seperti profil-profil masjid tua yang ada di Indonesia. Pun tembok yang dibangun dengan batu bata zaman dahulu. Sebab, profil masjid yang dibangun pada tahun 2000-an bernuansakan marmer dan berhiaskan kaligrafi di beberapa sisi dinding dan pintunya.


Atap yang Bertahan dan Dipertahankan

Kiai Ade menyampikan bahwa bagian atap itu merupakan ciri dari bangunan-bangunan yang ada di Cirebon. Bahkan mustakanya juga terdapat pada masjid-masjid pada zaman itu. Karena waktu itu juga, simbol-simbol keagamaan dari keislaman di Indonesia itu belum muncul.

 

Sebab, orang Indonesia masih belum banyak yang tinggal menetap di Makkah untuk melanjutkan studi dan berhaji, serta belum ke mana-mana. Sebagaimana diketahui, beberapa masjid meletakkan simbol bulan bintang sebagai mustakanya.


“Simbol di tanah Jawa hakikatnya adalah mungkin itu adalah simbol agama asal Pulau Jawa sehingga akhirnya kita bisa islamisasikan dengan bentuk bangunan yang berbeda,” kata kiai yang menyelesaikan studinya di Pondok Pesantren Al-Falah, Mojo, Kediri, Jawa Timur itu.


Dengan pengambilan mustaka yang juga berbentuk tiga tingkatan itu, justru akhirnya simbol-simbol rumah ibadah yang ada di Indonesia, di tanah Jawa, sudah tidak menggunakan simbol semacam itu karena sudah diambil alih orang Islam. Bahkan dulu, imbuhnya, bagian pojok wuwungan atap Masjid Agung Buntet Pesantren itu juga melengkung, seperti bangunan pendopo zaman dahulu.


“Itu termasuk ornamen yang mewah pada zaman itu. Itu masih digunakan di pendopo-pendopo, kelenteng. Tapi akhirnya mustaka seperti itu berdiri tegak di masjid agung sehingga digunakan di masjid lain dan tetap dipertahankan,” katanya.


Sejak berdirinya, Masjid Agung Buntet Pesantren sudah mengalami beberapa kali renovasi pada bagian lantai. Pada awalnya, lantai dibuat dengan papan. Kemudian, papan tersebut diganti dengan ubin. Dari ubin, lantai diganti lagi dengan keramik.

 

Saat ini, lantai masjid telah menggunakan batu granit. Selain itu, tiang-tiang juga mulanya dibuat dari besi. Setelah genting plentong diganti dengan genting morando yang dua kali lebih berat, besi tidak mampu menopangnya sehingga cukup mengkhawatirkan. Akhirnya, tiang direnovasi menjadi semi permanen dengan dilapisi kayu jati.


Namun, renovasi berulang tersebut tidak mengubah bagian atap. Kiai Ade menyampaikan bahwa pemertahanan bagian atap itu setidaknya disebabkan karena dua faktor.

 

Pertama, atap tersebut memiliki kekuatan yang sangat kokoh sehingga memang sampai saat ini belum memerlukan renovasi di bagian tersebut. Faktor kedua, kalau pun bagian atap tersebut sudah harus direnovasi karena termakan usia atau karena hal lain, para kiai tetap akan mempertahankan arsitektur yang sama.  


“Prinsip dari para masyayikh, jangan mengubah struktur fundamental dari Masjid Buntet. Kalaupun diubah, pasti para masyayikh pengennya yang sama dengan sebelumnya,” ujar kiai yang menamatkan studi sarjananya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad

 

Konten ini hasil kerja sama NU Online dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI