Nasional HARI SANTRI 2022

Ali Ramdhani: Aksara Pegon, Sarana Dakwah di Pesantren

Jum, 21 Oktober 2022 | 23:45 WIB

Ali Ramdhani: Aksara Pegon, Sarana Dakwah di Pesantren

Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Muhammad Ali Ramdhani, saat pembukaan Kongres Aksara Pegon di Jakarta, Jumat (21/10/2022). (Foto: Dok. Dit PD Pontren)

Jakarta, NU Online
Selain tradisi keilmuan, banyak ulama salaf yang memakai tulisan atau aksara sebagai sarana dakwah. Tradisi tulisan menjadi wakil watak kosmopolitan Islam sehingga dapat diterima di berbagai belahan pucuk dunia.


“Metode penulisan aksara Arab Pegon biasa digunakan oleh santri untuk menuliskan materi yang disampaikan kiai ketika ngaji bandongan ala pesantren,” kata Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Muhammad Ali Ramdhani, jelang pembukaan Kongres Aksara Pegon yang digelar di Jakarta, Jumat (21/10/2022).


Dirjen Ramdhani menjelaskan, Pegon merupakan aksara Arab gundul yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Jawa. Istilah Arab Pegon juga biasa disebut sebagai Arab Pego atau Arab Jawi.


“Menulis menggunakan aksara Arab Pegon memiliki tingkat kesulitan tersendiri karena aksara Arab Pegon ini terbilang unik. Ia merupakan perpaduan antara aksara Arab dengan beberapa huruf lokal yang bunyinya tidak ada dalam bahasa Arab, seperti huruf C (چ), E (اي), Ny(پ), Ng (ڠ), Ga (ݢا),” jelasnya.


Kang Dhani, sapaan akrabnya, menambahkan bahwa penulisan aksara Pegon tidaklah asal sembarang memakai tulisan Arab, melainkan ada syarat-syarat tertentu yang harus diperhatikan.


“Syarat utama untuk bisa menulis Aksara Pegon ialah melakukan pembiasaan dengan membaca teks-teks Arab untuk memudahkan dalam merekam bentuk huruf-huruf yang disampaikan kiai atau guru dengan menggunakan bahasa daerah,” tambah Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini.


Sementara itu, Direktur PD Pontren Prof Waryono Abdul Ghafur mengatakan bahwa secara historis dalam catatan mayoritas sarjana Muslim, Arab Pegon pertama kali muncul sekitar tahun 1400 M yang dirintis oleh Raden Rahmat atau karib disapa Sunan Ampel di Pesantren Ampel Denta Surabaya.


“Pendapat lain menyebut bahwa penggagas huruf Arab Pegon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Ada juga pendapat yang menyebut huruf Arab Pegon ini ditemukan oleh Imam Nawawi al-Bantani,” ujarnya.


Waryono mengungkapkan, persebaran Arab Pegon dalam perjalanannya juga diserap oleh komunitas muslim Melayu di wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand Selatan, dan Brunei Darussalam.


Entitas budaya
Santri, lanjut dia, merupakan entitas budaya yang sangat dekat dengan dunia tulis-menulis. Ia memandang, penjabaran makna kitab dengan menggunakan bahasa daerah di mana pesantren itu berada menunjukkan sikap keterbukaan pesantren sekaligus simbol toleransi yang penting.


“Sebagai lapis pranata kebudayaan di Indonesia, Aksara Pegon lahir dari dominasi kedaerahan yang melentur sebagai unsur lokalitas yang mengkulminasi melalui intensitas pergumulan santri ketika bertukar wacana dalam obrolan-obrolan ringan di pesantren,” ungkap Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.


Ia menerangkan, pergumulan santri dengan berbagai bentuk teks mempengaruhi cara pandang sensitivitas santri dalam mengenali konstruksi kedaerahan tertentu untuk juga menjaga keragaman di pesantren.


“Kepekaan bahasa kaum santri menegaskan tradisi lingua franca yang perlu dimaknai ulang. Santri yang belajar kitab kuning dengan tulisan pegon menjadi tali pancang awal pergumulan kebahasaan di pesantren,” terang Waryono.


Pagelaran Kongres Aksara Pegon merupakan salah satu rangkaian peringatan Hari Santri 2022 yang diikuti oleh pegiat pegon, akademisi, penelitian, pimpinan pesantren, santri, ormas Islam, dan lain-lain. Kegiatan ini dijadwalkan tiga hari, Jumat-Ahad, 21-23 Oktober 2022.


Kontributor: M Zidni Nafi’
Editor: Musthofa Asrori