Nasional

Anggota Komisi IX DPR Bantah RUU TPKS Bersifat Diskriminatif

Rab, 24 November 2021 | 17:00 WIB

Anggota Komisi IX DPR Bantah RUU TPKS Bersifat Diskriminatif

Anggota Komisi IX DPR RI, Nur Nadlifah. (Foto: dpr.go.id)

Jakarta, NU Online
Anggota Komisi IX DPR RI, Nur Nadlifah menangkis sejumlah kalangan yang menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bersifat diskriminatif. Pasalnya, RUU tersebut melindungi seluruh lapisan masyarakat, laki-laki, perempuan, dewasa maupun anak-anak.

 

“Sesungguhnya kekerasan seksual korbannya bukan saja perempuan, banyak juga (korban) laki-laki dan anak. Untuk itu, kalau dibilang RUU TPKS ini diskriminatif, jelas tidak benar,” ujarnya dalam Seminar Nasional dan Pengajian bertema Urgensi Pengesahan RUU TPKS untuk Proteksi dan Perlindungan Perempuan dan Anak Menuju Keluarga Maslahah yang diselenggarakan PP Fatayat NU, Rabu (24/11/2021).

 

Aturan tersebut menurutnya sangat dibutuhkan, sebab sudah menjadi bagian dari komitmen dan tugas konstitusi untuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali. Untuk itu, RUU TPKS ini dinilai perlu untuk segera disahkan menjadi UU.

 

“Jadi, sesungguhkan aturan ini sangat butuh untuk segera disahkan,” tegas anggota F-PKB itu.

 

Diakuinya, perjalanan RUU TPKS sangat panjang dan melelahkan tetapi tetap harus kuat diperjuangkan karena banyak dukungan.  “Saya mengajak sahabat-sahabat agar terus berjuang mendorong RUU ini bisa disahkan. Kita tidak ingin sudah dibahas berlama-lama tetapi hasilnya nihil,” ajak dia.

 

Ia mengakui bahwa RUU merupakan produk politik, sehingga tidak dapat dipungkiri dalam proses penyusunan RUU TPKS ada banyak kepentingan. Karenanya, ia berharap dukungan dari masyarakat dapat memberikan warna lain dalam peta perjalanannya.

 

“Dorongan dan dukungan masyarakat inilah yang nantinya akan memberikan energi dan warna tersendiri sehinga dapat merubah peta politik yang ada,” terang Nadlifah.

 

Sementara itu, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya yang turut hadir dalam seminar tersebut menerangkan, berbagai rapat dengar pendapat sudah digelar dan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, dari kelompok pendukung ataupun penolak.

 

Ia menjelaskan lahirnya draf baru yang diberi judul RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual berstatus sebagai draf awal. Menurutnya, berbagai masukan dan pandangan masih terbuka dalam pembahasan RUU ini sehingga terjadi beberapa perubahan redaksi dan materi agar pembahasan terus mengalami kemajuan.

 

"Kenyataan bahwa lahirnya judul dan materi baru ini mendapatkan kritik dari sejumlah kelompok, cukup disadari dan bisa dimaklumi," ujar Willy.

 

Willy menjelaskan, RUU TPKS untuk mengisi kekosongan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini belum ada regulasinya. RUU ini diharapkan menjadi payung hukum bagi korban untuk bersuara dan aparat hukum menegakan keadilan.

 

"Bagaimana ada legal standing payung hukum, bagi korban dan bagi aparat penegak hukum dalam bertindak," tegasnya.

 

Willy mengatakan ada bab yang mengatur khusus tentang penanganan korban, keluarga korban, dan saksi dalam draf RUU TPKS. Bahkan, ada bab khusus tentang anak dan kaum disabilitas.


 
"Karena seberat apa pun pelaku dihukum, itu tidak berdampak apa-apa pada korban. Mau sanksi satu miliar, dipenjara berapa tahun pun,” kata Willy.

 

Berikut lima jenis kekerasan seksual yang diatur dalam draf RUU TPKS: Pertama, pelecehan seksual. Kedua, pemaksaan hubungan seksual. Ketiga, pemaksaan kontrasepsi. Keempat, pemaksaan aborsi. Kelima, eksploitasi seksual.

 

Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Aiz Luthfi