Nasional

Banyak Petugas Meninggal, Perludem Desak Perubahan Desain Pemilu Serentak

Kam, 22 Februari 2024 | 15:00 WIB

Banyak Petugas Meninggal, Perludem Desak Perubahan Desain Pemilu Serentak

Seorang petugas KPPS di TPS 04 Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat saat memandu pemilih memasukkan kertas suara di kotak suara pada pemilu 2024, Rabu (14/2/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mendesak desain pemilu serentak diubah agar beban kerja petugas pemilu bisa lebih berkurang lagi. Pasalnya, setiap hajatan pemilu selalu menimbulkan korban jiwa, tidak sedikit petugas pemilu yang meninggal dunia.


"Ke depan perlu dievaluasi secara total terkait dengan jenis keserentakan pemilu kita. Tidak bisa lagi pemilu lima serentak, lima kotak," kata Nisa kepada NU Online, Kamis (22/2/2024) di Jakarta.


Menurutnya, pemilu serentak lima kotak sangat kompleks dan rumit, hal ini berdampak pada beban kerja dari petugas khususnya petugas KPPS. 


"Proses penghitungan memakan waktu yang cukup lama. Petugas KPPS bekerja bukan hanya di hari pencoblosan saja, tapi juga sudah bekerja sebelum dan saat hari pemungutan suara. Bekerjanya melebihi waktu kerja yang tak wajar," paparnya.


Pihaknya mengusulkan agar pemilu serentak dibagi menjadi pemilu serentak nasional dan lokal. Dengan model itu, pemilu legislatif (pileg) DPRD provinsi dan kabupaten/kota tak perlu berbarengan dengan pilpres, pileg DPR RI dan DPD RI, karena akan dilangsungkan bersamaan dengan jadwal pilkada.


"Jenis keserentakannya perlu diubah sehingga petugas KPPS pada pemilu serentak nasional hanya akan menghitung surat suara pilpres, pileg DPR RI, dan DPD RI," ujar Nisa.


Hal ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi jenis pemilu yang harus digabungkan dalam satu hari yang sama adalah Pemilihan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 


"Selang dua tahun kemudian ada pemilihan daerah yang menyerentakkan pemilu kepala daerah dan legislatif daerah. Varian lainnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang," ungkapnya.


Hal ini dianggap lebih rasional, karena penghitungan suara harus beres maksimum 23 jam usai pemungutan suara dengan segala kendala teknis yang mungkin terjadi di lapangan. "Dengan begitu kita bisa membagi beban kerja petugas juga," jelasnya.


Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini menambahkan masih tingginya jumlah kematian petugas pemilu dianggap membuktikan bahwa terobosan KPU dan pemerintah belum sepenuhnya menekan beban kerja petugas pemilu.


Ditambah, kendala-kendala seperti rusaknya mesin pengganda/fotokopi, kurang atau terlambatnya surat suara, hingga ketidakcocokan data merupakan tantangan yang sangat menguras energi dalam waktu yang memburu seperti itu.


"Bukan hanya waktu kerja di TPS yang sangat padat, para petugas KPPS juga harus menghadapi maraton proses rekapitulasi perolehan suara secara manual berjenjang di kecamatan," tandasnya.


Sebelumnya, Kementerian Kesehatan RI telah merilis data kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau petugas KPPS pada Pemilu 2024. Tercatat, 94 petugas orang meninggal mencakup 51 anggota KPPS, 18 anggota Linmas, sembilan saksi, delapan petugas, enam anggota Badan Pengawas Pemilu, serta dua anggota Panitia Pemungutan Suara.