Nasional

Berbeda Karakter, Milenial Kota dan Desa Miliki Kesempatan yang Sama untuk Berkembang

Sab, 18 September 2021 | 04:30 WIB

Jakarta, NU Online

Generasi milenial dinilai cukup adaptif mengikuti perkembangan zaman. Hal ini bisa dijadikan bekal utama untuk menyambut revolusi digital yang terus berlangsung. Namun, kemudian timbulah pertanyaan, terkait lokasi perkembangan, apakah karakter milenial kota dan desa bisa disamakan begitu saja?

 

Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama (UNUSIA) Shinta Mutiara Rezeky menjelaskan, data pembagian proporsi dan karakter milenial kota dan desa. Sejumlah 55 persen milenial tinggal di kota, dan 45 persen tinggal di desa. 

 

Shinta memaparkan karakter milenial yang tinggal di kota adalah percaya diri, kreatif, dan pandai bersosialisasi. Karakter tersebut terbentuk karena dinamisnya kehidupan kota yang mendorong mereka untuk bertahan di tengah badai persaingan.

 

Sementara itu, milenial di desa dinilai memiliki karakter gemar membantu keluarga. Dalam hal pekerjaan, mereka kurang sedinamis milenial kota. Mereka cenderung berorientasi pada aktivitas ekonomi konvensional seperti pertanian. 

 

"Karena di kota fasilitas lebih mudah dijangkau. Ketika ada ide dan gagasan, itu lebih mudah untuk dilakukan. Dan, jaringan di kota itu lebih mudah diakses. Akan berbeda dengan anak muda di perdesaan. Pola kehidupan di desa cenderung untuk membantu perekonomian keluarga. Misalkan selesai tamat SMA dia cenderung lebih menyibukkan aktivitas ekonomi di pedesaan," jelas Shinta saat mengisi Workshop Daring 'Membangun Ketahanan Ekonomi Generasi Milenial di Era Pandemi, Jumat (17/9/2021).

 

Tanpa bermaksud memarginalisasi milenial desa, Shinta mengatakan bahwa memutuskan untuk tetap tinggal di desa atau merantau ke kota sendiri pada dasarnya selalu ada hal yang dikorbankan. Masing-masing tempat memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri. 

 

"Tingkat dari risiko gampangnya akses yang didapatkan di kota ini tentu membuat kita harus lebih hati-hati. Entah itu nanti adanya pengaruh-pengaruh (buruk) seperti itu. Berbeda dengan perdesaan yang lingkungannya lebih terjaga, masih saudara kita, masih lingkungan kita," ujarnya.

 

Namun demikian, menurutnya baik milenial kota maupun kota bisa dan harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang meski dengan lingkungan yang berbeda. "Hal ini sebenarnya bisa disinergikan," kata Shinta.
 

Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Kendi Setiawan