Nasional

Bersama yang Muda Melawan Hoaks, Ujaran Kebencian dan Radikalisme-Terorisme

Rab, 21 November 2018 | 16:55 WIB

Bersama yang Muda Melawan Hoaks, Ujaran Kebencian dan Radikalisme-Terorisme

Peserta Workshop (Campaign)

Jakarta, NU Online
Akhir pekan lalu, NU Online bersama dengan Islami.co, Siberkreasi, bekerja bareng dengan Search for Common Ground dan Campaign menggelar workshop 'Social Media for Social Impact'. Salah satu materi yang disoroti adalah maraknya berita hoaks dan bagaimana cara berhadapan dengannya.

Workshop ini, antara lain, membahas cara membuat konten gambar dan video yang bisa menyebarkan hal-hal positif dengan panduan Komposisi dan Cameo Project. Sementara Islami.co dan NU Online kebagian membangun pemahaman mengenai cara deteksi dini hoaks, hate speech dan apa yang mesti kita lakukan setelahnya.

Dikutip dari akun resmi Campaign “Secara keseluruhan, dalam workshop 'Social Media for Social Impact' ini, kita belajar banyak hal dalam menyebarkan energi positif di media sosial. Yang terpenting, kita menjadi tahu bahwa perbedaan itu memang selalu ada di sekitar kita. Namun apa salahnya berbeda? Berbeda adalah keindahan yang dimiliki Indonesia. Di atas semua perbedaan itu, Indonesia adalah satu! Iya, satu bangsa, satu negara, satu bahasa, satu rasa, dan satu tujuan,” tulisnya. 

Kalangan muda, memang sudah seharusnya paham akan konsekuensinya sebagai penghuni utama internet. Di mana salah satu tantangan berselancar di dunia maya terutama sosial media adalah banyaknya konten hoaks dan ujaran kebencian.

Menurut Badan Pusat Statistik, sebanyak 54 persen dari penduduk indonesia yang berjumlah 265 juta yakni sekitar 143 adalah pengguna internet aktif. 90 persen dari angka itu adalah pengguna aktif sosial media. Sementara itu, survey Search for Common Ground menyebut bahwa sekitar 87 persen dari respondennya menyatakan bahwa sosial media merupakan sumber informasi yang penting.

Dari angka itu kita melihat bagaimana pentingnya mengetahui ‘jabakan-jebakan’ konten media sosial yang tak melewati proses ketat meja redaksi sehingga bisa dipenuhi konten hoaks, ujaran kebencian hingga konten yang mempromokan radikalisme dan terorisme. Dalam koteks ini, workshop seperti itu perlu terus dikembangkan. 

Workshop serupa juga digelar di sejumlah tempat lain seperti di UIN Raden Fatah Palembang yang digelar BNPT. Para mahasiswa diajak aware dan aktif melawan hoaks, radikalisme dan terorisme.

Direktur Pencegahannya, Brigjen Hamli ME mengatakan Kecanggihan teknologi komunikasi adalah pisau bermata dua; Ia bisa menjadi sarana penyebaran kebaikan dan bisa pula menjadi alat utama kelompok radikal dalam melancarkan propaganda sebagaimana pimpinan Alqaeda, Osama bin Laden di awal kemunculannya. Karena dianggap berhasil, ISIS mengikutinya dengan merekrut pengikutnya penjuru dunia melalui komunikasi dunia maya.
 
Sekarang, meski Al Qaeda dan ISIS di Timur Tengah sudah ‘terkapar’, namun para simpatisan mereka di Indonesia, dan kelompok-kelompok radikal lainnya juga menjadikan menggunakan cara-cara tersebut dalam melancarkan aksinya. 

Hasil penelitian Wahid Foundation beberapa tahun lalu yang mengatakan bahwa kalangan mahasiswa adalah kelompok rentan benar adanya. Generasi muda, terutama mahasiswa yang dikenal dalam masa pencarian kerap menjadi target perekrutan. Faktanya di Indonesia sudah banyak kampus yang terpapar radikalisme dan terorisme.
 
“Mahasiswa dan generasi muda pada umumnya, memiliki potensi besar dalam melawan propaganda yang ingin merongrong kedamaian dan keutuhan NKRI itu. Tentunya dengan cara, gaya, dan bahasa anak muda,” imbuh Brigjen Hamli.
 
Alasan lain maraknya paham radikalisme-terorisme disebabkan oleh kesalahan memahami agama. Hal itu berdasarkan penelitian INSEP tahun 2012 terkait pelaku jihad ke Afghanistan. Dari 100 responden dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, sebanyak 45,5 persen responden mengungkapkan bahwa radikalisme-terorisme disebabkan karena ideologi agama dan pemahaman agama yang keliru. Kemudian disusul solidaritas komunal yang negatif sebanyak 20 persen, kemudian 12,7 persen militan, sedangkan 9 persen karena kondisi nasional negaranya.
 
Maka ia mengajak para generasi muda untuk waspada terhadap lingkungan. Pasalnya, mereka yang terlibat kelompok radikalisme dan terorisme biasanya menggunakan narasi tertentu untuk mempengaruhi targetnya seperti Islam terzolimi, dipojokkan, dianaktirikan dan sentimen kepentingan asing. (Ahmad Rozali)