Nasional

Bila Solid, Pesantren dapat Mempengaruhi Kebijakan Politik

Ahad, 6 September 2020 | 12:00 WIB

Bila Solid, Pesantren dapat Mempengaruhi Kebijakan Politik

Abdul Ghaffar Karim (kanan) bersama Wakil Rektor Instika Guluk-guluk, Sumenep. (Foto: NU Online/Firdausi)

Sumenep, NU Online

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang sejak dulu dirasakan keberadaannya oleh elemen bangsa. Saat ini kaum sarungan menjadi lokomotif pertautan keislaman dan keindonesiaan. Bahkan alumninya mampu bersaing di berbagai bidang, termasuk kiprah di dunia politik.

 

Bagaimana peran pesantren dalam percaturan politik, masalah ini menjadi perbincangan pada studium general di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-guluk Sumenep, Jawa Timur. Kegiatan mengusung tema 'Mencermati Kiprah Pesantren dalam Politik' dengan menghadirkan Abdul Ghaffar Karim sebagai penyaji tunggal, Sabtu (5/9).

 

KH Muhammad Husnan Nafi' memberikan alasan bahwa pilihan tema disesuaikan dengan momen pemilihan kepala daerah di Sumenep yang mana pesantren tidak bisa dipungkiri memiliki peran penting.

 

Menurut Wakil Rektor II Instika ini, menghadirkan narasumber untuk berbicara politik di kampus karena  yang bersangkutan pernah mengulas biografi politik kiai Annuqayah.

 

"Ini wajib diketahui oleh mahasiswa baru yang belajar di pesantren. Karena secara lambat laun mahasiswa akan memiliki gambaran tersendiri tentang peran pesantren dalam politik," katanya saat sambutan.

 

H Damanhuri yang didaulat sebagai moderator memberikan pengantar keterikatan umat Islam pada politik bukan disebabkan oleh kemampuan partai politik yang memperjuangkan dan membela kepentingan Islam. Tetapi karena adanya tipologi umat dalam memandang hubungan politik dengan Islam.

 

Wakil Rektor I Instika tersebut menguraikan tiga tipologi berpolitik ketika dihadapkan dengan Islam. Pertama ideologis, umat Islam memposisikan politik sama dengan beragama Islam sehingga semangat pembelaan politik sama dengan membela Islam.

 

"Kedua tipologi kharismatik, yakni umat Islam memilih sebuah Parpol karena mengikuti sikap dan perilaku seseorang yang dikagumi. Sebut saja kiai, sehingga yang dikatakan figur selalu menjadi rujukan warga," terangnya.

 

Selanjutnya yang ketiga tipologi rasional, di mana umat Islam memilih Parpol karena benar-benar didasarkan pada pandangan rasional. Hal ini dilatarbelakangi oleh kemampuan Parpol menawarkan program yang dapat memperbaiki dan memperjuangkan nasib rakyat.

 

"Keterlibatan pesantren dan politik mengambil bentuk bermacam kebijakan yang didasari dengan politik aliyah atau politik kebangsaan, bukan menggunakan politik safilah atau politik praktis," ungkapnya.

 

Sedangkan Abdul Ghaffar Karim menjelaskan bahwa peran pesantren tidak semata mendidik santri untuk mampu menguasai materi keislaman secara mendalam. Bila bisa mengorganisir pesantren lain secara baik, bukan tidak mungkin mampu menjadi kekuatan penyeimbang untuk mengontrol kinerja pemerintah.

 

Dosen Universitas Gajah Mada Yogyakarta tersebut menjelaskan bahwa sebelum Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno, pesantren mempunyai peran sosial yang memberikan pelayanan dasar kebutuhan masyarakat.

 

“Ketika warga Nusantara pertama kali mengenal negara, pemerintah dan pesantren bekerja sama memberikan pelayanan keamanan, pendidikan, dan kesehatan kepada masyarakat,” kata pria asli Sumenep tersebut.

 

Disampaikan mantan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia tersebut bahwa saat ini kiai sangat mudah masuk dalam dunia politik. Tidak seperti masa Orde Baru yang mana kiai mendapatkan kekangan dan ancaman dari penguasa.

 

Dijelaskan pula hendaknya beberapa pesantren yang ada dapat mengkonsolidir diri sehingga bisa diperhitungkan. Kekompakan tersebut penting dalam rangka turut mengontrol kinerja pemerintahan.

 

“Pesantren yang solid dengan mudah mempengaruhi beragam kebijakan politik. Pesantren yang kompak selalu menjaga keutuhan demokrasi di Indonesia dan berfungsi sebagai lembaga kontrol bagi jalannya pemerintahan,” jelasnya.

 

Kegiatan ini dilaksanakan di aula As-Syarwqawi yang dipandu oleh H Damanhuri.

 

Kontributor: Firdausi

Editor: Ibnu Nawawi