Nasional

Buka NU Women Fest, Ketum PBNU: Ini Bukti Adanya Gerakan Perempuan yang Kuat

Sab, 15 Oktober 2022 | 17:30 WIB

Buka NU Women Fest, Ketum PBNU: Ini Bukti Adanya Gerakan Perempuan yang Kuat

Ketum PBNU ungkap NU Women bukti adanya gerakan perempuan yang kuat . (Foto: Instagram/@yahyacholilstaquf)

 Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengungkapkan bahwa peluncuran NU Women merupakan salah satu kegiatan pokok dari rangkaian kegiatan peringatan Satu Abad NU. NU Women diluncurkan karena adanya peran gerakan perempuan yang kuat dan sudah mendominasi di lingkungan NU sejak dahulu.

 

“Sebetulnya aktivisme perempuan di lingkungan NU sudah menjadi tradisi yang kokoh dan sangat mendalam sampai di tingkat yang paling dasar dari strukutur komunitasnya, yaitu sampai akar rumput,” ungkap Kiai Yahya dalam sambutannya di acara Pembukaan NU Women Fest yang digelar di Graha Pertamina Jakarta, pada Sabtu (15/10/2022).

 

“Saya ingin mengatakan dalam konteks ini bahwa mungkin NU adalah komunitas yang punya lapisan aktivis perempuan paling kental dan paling aktif  diantara  organisasi Indonesia lainya,” tuturnya.

 

Kiai Yahya mengungkapkan pada tahun 1938, para kiai mengizinkan dua orang nyai untuk pertama kali berpidato di depan Muktamar NU, yaitu Nyai Juaisih dan Nyai Siti Saroh, dua nyai tersebut, lanjut Gus Yahya, menyuarakan tuntutan untuk memperoleh kesetaran dan mendapatkan hak pendidikan bagi perempuan di kalangan NU. Tidak lama kemudian tahun 1949 didirikan Muslimat NU yang diketuai oleh perempuan muda yaitu Nyai Khadijah.

 

“Kalau kita lihat dinamisme aktivis perlindungan ibu dan anak, titik yang paling menonjol memang muncul di kalangan NU, sebetulnya kentalnya aroma ghiroh aktivisme perempuan NU ini bukan sesuatu yang kebetulan,” ungkap pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah tahun 1966 itu.

 

Gus Yahya mengatakan bahwa masyarakat Nusantara bukan didominasi oleh laki-laki, dalam beberapa hal menurutnya perempuan lebih dominan, seperti  satu suku yang menggambarkan dominannya perempuan dalam satu keluarga yaitu Suku Minang.

 

“Seperti di kerajaan Aceh juga, kerajaan yang membentuk pasukan perang perempuan pertama di Indonesia,” tuturnya.

 

Selain di Aceh, lanjutnya, di kalangan masyarakat Jawa bukan laki-laki yang mendominasi tapi perempuan, ia mencontohkan, di masyarakat Jawa laki-laki hanya menanam padi kalau sudah penen, proses selanjutnya didominasi oleh perempuan, yang menakar, memasak, menjual, dan menyimpan adalah perempuan.

 

“Perempuan punya kedudukan tinggi di masyarakat, kualitas peran perempuan harus ditingkatkan, dengan kemampuan paripurna  perempuan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat,” tandas Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang itu.

 

“Perlu dijadikan acuan, tidak ada yang bisa seperti perempuan Nahdlatul Ulama, tidak ada gerakan perempuan yang lebih kuat yang dapat menentukan dinamika masyarakat melebihi dinamika pergerakan perempuan NU,” lanjutnya.

 

Gus Yahya berharap dengan adanya gerakan perempuan NU ini akan membawa masa depan perempuan yang lebih baik dalam kualitas maupun perannya.

 

“Meningkatnya kualitas perempuan akan meningkatkan kualitas peradaban,” tutupnya.

 

Kontributor : Siti Maulida
Editor: Aiz Luthfi