Nasional

Cara Hadirkan Al-Qur’an untuk Generasi Muda Menurut Prof Quraish Shihab

Sen, 10 April 2023 | 16:30 WIB

Cara Hadirkan Al-Qur’an untuk Generasi Muda Menurut Prof Quraish Shihab

Prof Muhammad Quraish Shihab. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) bertanya kepada Pakar Tafsir Prof Muhammad Quraish Shihab soal cara menghadirkan Al-Qur’an kepada generasi muda. 


Menurut Gus Ulil, perkembangan peradaban modern saat ini mengarah pada budaya yang sangat rasional. Anak-anak muda sekarang tumbuh dalam kultur atau budaya sains dan ilmiah. Inilah alasan mendasar ia bertanya kepada Prof Quraish terkait cara menghadirkan Al-Qur’an dengan rasional kepada anak-anak muda. 


“Harus ditampilkan (dan) dihadirkan dengan menyesuaikan uraian-uraiannya dengan jati diri manusia. Manusia itu bukan hanya akal (tetapi) dia punya hati,” ucap Prof Quraish menjawab pertanyaan Gus Ulil dalam video yang ditayangkan NU Online, Sabtu (8/4/2023).


Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) ini mengungkapkan, para filosof telah keliru karena sangat mengandalkan akal dan seringkali mengabaikan hati. Sementara kekeliruan pihak lain adalah sangat mengandalkan hal-hal yang suprarasional dan mengabaikan akal. 


“Masyarakat dunia sekarang sangat mengandalkan akal sehingga dia lupa hatinya,” ucap Pengarang kitab Tafsir Al-Misbah itu. 


Sebagai contoh, Prof Quraish menggambarkan pertemuan antara Nabi Musa dan Tuhan. Saat Nabi Musa tenggelam dalam spiritualitas, Tuhan lalu menghentakkan Nabi Musa dengan sesuatu yang bersifat material. Peristiwa ini diabadikan dalam Surat Thaha ayat 17. Cara Tuhan seperti ini bertujuan agar Nabi Musa kembali kepada dirinya sebagai manusia.  


Prof Quraish kemudian mengutip ungkapkan seorang filosof bahwa seorang pakar harus bisa mempertemukan antara jiwa dan akal. Islam datang untuk mempertemukan jiwa dan akal, sebagaimana dulu Dzulqarnain ingin mempertemukan antara Timur dan Barat.


Orang Barat sangat mengandalkan akal sehingga dalam setiap percakapan mereka kerap berkata ‘I think’ atau ‘saya kira’. Sementara orang Timur kerap berkata ‘I feel’ atau ‘saya rasa’. Lalu bagaimana para pakar mempertemukan antara pikir dan rasa? 


Prof Quraish mengatakan, di kalangan para pakar kerap menggambarkan bahwa setiap orang di dalam kehidupan ini harus membawa tongkat. Pegangan tongkat halus dan ujungnya yang terletak di bawah kasar. 


“Jangan letakkan yang kasar itu di tanganmu dan jangan juga letakkan yang halus di sana (bawah). Tapi gunakan kedua-duanya sekaligus ketika kamu berjalan. Masing-masing punya fungsi. Karena itu, letakkan sedikit akal pada rasamu dan letakkan rasa dalam akalmu, supaya kamu tidak arogan. Supaya kamu tidak hanyut pada perasaan. Al-Qur’an sebenarnya ingin gabung itu (akal dan rasa),” jelas Prof Quraish. 


Lebih lanjut, ia mengutip tulisan seorang filosof dari Mesir. Tulisan itu berisi tentang ajakan agar orang tidak mudah percaya sebelum ada pembuktian yang rasional. Bahkan, filosof itu menulis supaya orang tidak percaya pada mimpi. 


“Kalau ada orang berkata bahwa di bawah tanah ini ada minyak, jangan percaya kecuali setelah anda buktikan bahwa memang ada. Itu tuntunan akal. Kalau ada yang berkata bahwa di sini ada minyak, tapi dia katakan dia tidak bisa buktikan, dan dia berkata ‘ini saya mimpi ada minyak’ maka jangan percaya itu,” begitu tulisan seorang filosof Mesir yang diucapkan Prof Quraish. 


Pendapat filosof itu kemudian dibantah oleh Prof Quraish. Sebab ia percaya bahwa ada mimpi yang benar. Menurut Prof Quraish, terdapat banyak penemuan ilmiah yang kebetulan didahului dari mimpi. 


“Archimedes menemukan hukum-hukum itu bukan melalui pembuktian (tetapi) kebetulan (dari mimpi),” ucap Prof Quraish. 


Meski begitu, ia tak mengaku tidak akan berkata bahwa seseorang harus percaya langsung terhadap kebenaran yang didapat dari mimpi, tetapi jangan serta-merta menolak. Sebab peristiwa yang terekam melalui mimpi itu bisa jadi benar. 


“Nah ini kita meletakkan sedikit rasa di akal. Itu contohnya. Jadi kita menggabungkan antara rasa dan akal. Dalam hal-hal tertentu, saya sering berkata kalau dalam cinta dahulukan rasa baru akal,” kata Prof Quraish seraya tertawa. 


“Tapi dalam perdagangan, kita harus pakai akal,” ucap Gus Ulil menimpali.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad