Nasional

Catatan Komnas Haji untuk Menag Baru: Kuota Jamaah Haji hingga Transparansi Dana

Rab, 23 Oktober 2019 | 12:30 WIB

Catatan Komnas Haji untuk Menag Baru: Kuota Jamaah Haji hingga Transparansi Dana

Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj. (Foto: Beritagar)

Jakarta, NU Online
Tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan Kementerin Agama dalam rentang tiga tahun terakhir dinilai cukup membanggakan. Setidaknya, dalam kisaran waktu itu tidak terjadi insiden yang berarti dan biaya haji relatif tidak mengalami kenaikan.

“Hasil survei daripada BPS, Badan Pusat Statistik itu trendnya kepuasan dari jamaah terhadap pelayanan ibadah haji selalu naik, ya,” kata Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj kepada NU Online, beberapa waktu lalu melalui sambungan telepon.

Namun demikian, bukan berarti Menteri Agama (Menag) pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memiliki beban pekerjaan. Sebab, ia mencatat setidaknya ada dua persoalan yang harus ditangani oleh Menag, yaitu kuota haji Indonesia dan transparansi dana haji.

Mustolih mengatakan, pada penyelenggaraan ibadah haji 2019, Presiden Joko Widodo melalui lobi kepada Raja Arab Saudi berhasil menambah kuota yang sebelumnya berjumlah 221 ribu menjadi 231 ribu orang karena mendapat tambahan 10 ribu kota. Presiden Jokowi mencanangkan musim depan kuota haji mencapai 250 ribu.

Ia berharap, tambahan kuota 10 ribu yang dilakukan Jokowi tersebut tidak hanya bersifat sementara, namun permanen, sehingga ke depan, minimal kuotanya tetap 231 ribu. Di samping bagaimana Menag mencari cara untuk merealisasikan target 250 ribu kuota seperti yang dikehendaki Jokowi.

“Ini saya kira menjadi tantangan bagi Menteri Agama ke depan. Sebab apa? kita ini kan negara yang mayoritas muslim terbesar di dunia, di sisi lain waiting list, daftar tunggu semakin panjang. Ini isu yang sangat laten dan krusial,” kata Mustolih.

Apalagi, sambungnya, keinginan Pemerintah Indonesia agar mendapatkan kuota lebih itu sesuai dengan kemauan politik Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang juga berupaya menarik sebanyak-banyaknya jamaah haji dan umrah pada tiap tahunnya.

Walau pun begitu, ia mengapresiasi berbagai upaya yang telah dilakukan Kemenag dalam meminimalisir lamanya masa tunggu, seperti dengan membuat aturan bagi jamaah haji yang telah menjalankan ibadah haji untuk tidak melakukan kembali ibadah sampai batas minimal 10 tahun. 

“Ini kan bukan melarang, tapi kan memberikan asas keadilan kepada mereka yang belum berangkat. Nah, ini juga menjadi bagian mensiasati bagaimana kemudian antrean witing list ini berkeadilan,”

Upaya lain yang dilakukan Kemenag, katanya, aturan bagi jamaah yang telah mendaftar ibadah haji, namun dalam masa tunggu tersebut meninggal atau mengalami sakit yang tidak memungkinkan untuk menunaikan ibadah haji, makadapat digantikan oleh ahli warisnya melalui prosedur yang ditentukan. 

“Ini saya kira harus dianggap ikhtiar mensiasati bagaimana waiting list (daftar tunggu) yang begitu panjang,” ucapnya.

Sementara terkait pengelolaan dana penyelenggaraan ibadah haji harus dilakukan secara transparan, seperti melalui media. Ia mengatakan, Kemenag terakhir melakukan transparansi pada 2013.

Menurutnya, kewajiban penyelenggara ibadah haji berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, setiap tiga bulan setelah pelaksanaan ibadah haji, Kemenag harus memberikan laporan kepada DPR.
 
Namun karena dana yang ada bukan hanya dari APBN, melainkan juga ditanggung dari jamaah haji dan jamaah yang masih menunggu, maka Kemenag juga harus memberikan transparansi ke publik. Hal itu dianggap penting supaya ada kontrol tentang penggunaan dana.

“Kementerian Agama harus membiasakan diri untuk memberikan transparansi kepada publik dalam hal ini ya jamaah. Jadi setelah diaudit itu diumumkan di koran (media),” ucapnya.
 
Pewarta: Husni Sahal
Editor: Fathoni Ahmad