Nasional

Cerita Anjas Pramono Ditolak Sekolah karena Difabel, Kini Berprestasi Internasional

Rab, 31 Juli 2019 | 14:15 WIB

Cerita Anjas Pramono Ditolak Sekolah karena Difabel, Kini Berprestasi Internasional

Anjas Pramono saat berkunjung ke Kantor Redaksi NU Online, Selasa (30/7).

Jakarta, NU Online
Semangat belajar tak pernah padam dalam diri Anjas Pramono, seorang kader NU yang difabel asal Kudus. Kegigihannya dalam menempuh studi selalu diganjar dengan nilai-nilai yang baik. Bahkan, ia pernah mendapatkan nilai 100 untuk bidang studi yang kerap kali menjadi hantu bagi para pelajar pada umumnya, yakni matematika.

Namun, keadaannya yang difabel membuat dua institusi pendidikan menolaknya. Anjas menceritakan pengalaman pahitnya itu saat berkunjung ke kantor redaksi NU Online, di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lantai 5, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, pada Selasa (30/7).

Saat penerimaan peserta didik baru di sebuah sekolah menengah pertama di kota kelahirannya, Kudus, Anjas mendapatkan peringkat pertama. Namun, pihak sekolah menolaknya karena kondisi fisiknya yang demikian. Bahkan, katanya, guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah tersebut menyarankannya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).

Hal tersebut terulang kembali saat ia mendaftar perguruan tinggi. Ia berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan keinginan orangtuanya yang berharap putra sulungnya tersebut menjadi dokter. Secara akademis, ia berhasil lolos pada salah satu perguruan tinggi negeri (PTN). Akan tetapi, lagi-lagi dengan alasan yang sama, ia ditolak oleh PTN tersebut.

Namun, hal itu tak menyurutkan semangatnya untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Melalui jalur disabilitas, ia berhasil diterima di jurusan Teknik Informatika Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

Dalam bayangannya, belajar dan bekerja dalam bidang teknik informatika bisa dilakukan sembari duduk, tanpa perlu banyak aktivitas berlebih.

Semangat Memberi Manfaat

Pria yang saat ini telah duduk di bangku semester 7 tersebut sudah membuat lima aplikasi guna memudahkan komunikasi orang yang difabel dan tidak difabel. Salah satunya adalah aplikasi yang memudahkan belajar bahasa isyarat. Hal itu ia buat agar masyarakat dapat mudah berkomunikasi dengan mereka yang tunarungu.

Ketua Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Brawijaya itu juga mengantarkan 23 rekan-rekannya berangkat mengikuti berhasil meraih dua medali emas dan satu medali perak dari empat regu dalam lomba inovasi teknologi di Malaysia.

Dalam waktu dekat, Anjas akan melawat ke Negeri Paman Sam guna mengikuti kegiatan di sebuah kampus di sana. Salah satu agendanya, katanya, adalah berkunjung ke White House, kediaman Presiden Amerika.

Anjas bertekad akan terus memberikan kesadaran kepada masyarakat umum agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap saudara-saudara yang difabel. Ia menyampaikan bahwa penyadaran tersebut bisa dilakukan sejak dini melalui pelajaran kesadaran disabilitas (disability awareness) yang ditanamkan pada kurikulum dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

“Ada orang-orang yang teredukasi karena sejak TK sampai PT gak mendapatkan mata pelajaran disability awareness. Saya bisa menyasar anak-anak akan hilang diskriminasi,” katanya. (Syakir NF/Fathoni)