Nasional

Di Halaqah Fiqih Peradaban, Pakar Tafsir PTIQ Jelaskan Konsep Negara Islam

Sen, 12 September 2022 | 16:45 WIB

Di Halaqah Fiqih Peradaban, Pakar Tafsir PTIQ Jelaskan Konsep Negara Islam

Pakar Tafsir dari Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta Nyai Hj Nur Rofiah. (Foto: Pesantren Darus-Sunnah/Siroj).

Jakarta, NU Online
Pakar Tafsir dari Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta Nyai Hj Nur Rofiah menjelaskan tentang konsep negara Islam yang mengadopsi nilai rahmatan lil alamin. Menurutnya, Islam merupakan sikap yang berkaitan dengan status manusia sebagai hamba Allah. Inilah yang disebut sebagai tauhid.

 

Hal tersebut diungkapkan Nur Rofiah saat menjadi narasumber dalam Halaqah Fiqih Peradaban bertema ‘Fiqih Siyasah antara Perang dan Damai’ di Pondok Pesantren Darus-Sunnah Ciputat, Tangerang Selatan, pada Ahad (11/9/2022).

 

Lebih lanjut, Nur Rofiah mengatakan bahwa nilai tauhid itu menghendaki agar seseorang tidak menghamba kepada apa dan siapa pun selain Allah. Juga tidak akan menghamba kepada Allah sembari menghambakan diri kepada siapa dan apa pun selain Allah.

 

Di samping itu, setiap manusia juga punya amanah sebagai khalifah fil ardh yang bertugas untuk mewujudkan kemaslahatan secara luas di muka bumi. Nur Rofiah menekankan bahwa keislaman sebuah negara ditentukan dari keteguhan tauhid dan dibuktikan dengan perwujudan kemaslahatan seluas-luasnya.

 

Karena itu, lanjut Nur Rofiah, negara Islam bisa dipahami sebagai negara berketuhanan Yang Maha Esa lalu segenap komponen bangsa bekerja sama untuk membuktikan ketauhidan itu dengan mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh warga negara, tanpa terkecuali.

 

“Inilah Islam rahmatan lil alamin yang diyakini NU, siapa pun yang ingin mewujudkan keislaman sebuah negara maka harus berpegang erat kepada konsep tauhid, lalu membuktikan tauhid itu dengan mewujudkan kemaslahatan di muka bumi, baik bagi Muslim maupun non-Muslim,” ungkap Nur Rofiah.

 

Berislam sebagai Proses
Menurut Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta itu, berislam merupakan sebuah proses untuk mengubah sistem kenegaraan yang zalim agar bergerak menuju sistem yang islami. Bagi NU, negara adalah washilah untuk mewujudkan kemaslahatan yang dianjurkan Islam.

 

Nur Rofiah menjelaskan, sistem kehidupan yang dikehendaki Islam adalah menjadi anugerah bagi semesta, bukan secara eksklusif hanya bagi Muslim tetapi inklusif bagi siapa pun. Dengan demikian, musuh agama dalam konteks ini bukan Muslim dan Non-Muslim, melainkan siapa pun yang berbuat kezaliman.

 

“Muslim berbuat zalim, berarti kezalimannya itu menjadi musuh dari Islam. Non-Muslim tidak membuat kezaliman berarti dia tidak sedang menjadi musuhnya Islam,” ungkap Doktor Tafsir jebolan Universitas Ankara, Turkiye itu.

 

Ciri negara zalim dan islami
Menurut Nur Rofiah, negara zalim merupakan anugerah bagi pihak yang kuat atau mayoritas tetapi justru menjadi musibah bagi pihak lemah. Sementara negara islami ditandai dengan sistem yang menjadikan sebuah anugerah bagi yang lemah.

 

“Karenanya, ikhtiar kita dalam mewujudkan kemaslahatan Islam di Indonesia adalah memastikan siapa pun yang berada di dalam posisi lemah dan rentan, baik Muslim maupun Non-Muslim itu ditolong agar bisa mendapatkan anugerah dari negara Indonesia ini,” jelas Nur Rofiah.

 

Di dalam sistem zalim juga terdapat akhlak mulia yang ditujukan oleh pihak lemah kepada pihak yang lebih kuat, sedangkan pihak kuat boleh-boleh saja menunjukkan akhlak mazmumah (perbuatan buruk) atau perilaku sewenang-wenang kepada pihak lemah.

 

“Sistem negara yang islami itu semua pihak berakhlak mulia, terutama pihak kuat kepada pihak lemah,” jelas Nur Rofiah.

 

Di dalam sistem zalim juga mengharuskan minoritas sebagai pihak lemah tunduk secara mutlak kepada mayoritas atau pihak kuat. Sementara negara dengan sistem yang islami mengharuskan semua pihak tunduk mutlak hanya kepada Allah dan tunduk kepada kebaikan bersama yang dirumuskan dalam konstitusi negara.

 

Kekuatan dalam bentuk apa pun, di dalam sistem zalim, selalu dijadikan alasan untuk menormalkan agar pihak kuat dapat berlaku sewenang-wenang kepada pihak yang lemah.

 

“Di negara islami, apa pun nama dan bentuknya, pihak yang lebih kuat harus bisa memberdayakan pihak lemah, bukan justru memperdayanya,” pungkas Nur Rofiah.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Aiz Luthfi