Nasional

Dialog Antar-Budaya dan Agama Jadi Sumbangsih PBNU Jadikan ASEAN Pusat Pertumbuhan Ekonomi

Sen, 10 Juli 2023 | 18:30 WIB

Dialog Antar-Budaya dan Agama Jadi Sumbangsih PBNU Jadikan ASEAN Pusat Pertumbuhan Ekonomi

Sosialisasi R20 Menuju ASEAN IIDC, di Hotel Santika Premier, Palembang, Senin (10/7/2023). (Foto: NU Online/Zubaedi Raqib)

Jakarta, NU Online 

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melakukan sosialisasi tentang dialog antarbudaya dan antaragama di Asia Tenggara atau ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC). IIDC rencananya digelar pada September 2023 mendatang sebagian bagian dari perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN. 


Agenda itu merupakan upaya sumbangsih atau kontribusi PBNU untuk menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan melibatkan variabel di luar ekonomi, yakni perbedaan agama dan budaya. 


“Kami mencoba berpikir tentang satu sumbangan yang mungkin berguna bagi pergulatan ASEAN untuk membangun epicentrum of growth yaitu dengan memperhatikan dan berpikir tentang variabel-variabel di luar variabel-variabel ekonomi itu sendiri,” ucap Ketua Umum PBNU dalam Sosialisasi R20 Menuju ASEAN IIDC, di Hotel Santika Premier, Palembang, Senin (10/7/2023).


Gus Yahya menjelaskan bahwa Indonesia telah mengumumkan ‘proposal’ agenda besar untuk KTT ASEAN 2023 yaitu menjadikan negara-negara di Asia Tenggara sebagai pusat pertumbuhan atau epicentrum of growth


Ia menyebut, tawaran yang diajukan Indonesia kepada ASEAN itu sebagian besar menyangkut persoalan ekonomi, antara lain kesejahteraan dan kemakmuran kawasan. Ia pun mengakui bahwa memang ASEAN merupakan kawasan yang kaya dari segi sumber daya alam, populasi, dan potensi-potensi kapasitas lain. Inilah unsur-unsur yang menjamin suksesi ekonomi bagi kawasan ASEAN.


Namun Gus Yahya mengungkapkan bahwa ada potensi yang bisa menjadi hambatan bagi agenda membangun epicentrum of growth itu yakni potensi-potensi konflik. Sebab ASEAN merupakan kawasan dengan kekayaan heterogenitas atau kemajemukan yang luar biasa.


“Jadi, misalnya orang Indonesia tidak bisa berpikir bahwa hanya di Indonesia yang penduduk Muslimnya mayoritas karena di bagian-bagian lain di ASEAN ada masyarakat-masyarakat yang populasi Muslimnya minoritas. Ada yang sangat krusial, populasi Muslimnya minoritas tapi ukurannya besar sekali, seperti di India,” ucap Gus Yahya.


Saat ini, lanjutnya, Indonesia menjadi negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia. Disusul India yang juga berpenduduk Muslim dengan jumlah besar, tetapi warga Muslim di sana tetap menjadi minoritas. 


“Kalau kita punya sekitar 250-an juta populasi Muslim, di India itu sudah sekitar 200 juta, dan diperkirakan tahun 2050 nanti populasi Muslim di India kemungkinan jadi lebih banyak daripada Indonesia, tapi (warga Muslim) minoritas di tengah penduduk India yang lebih 1,5 miliar,” tutur Gus Yahya.


Ia mengaku memperoleh data mengenai jumlah populasi umat beragama di kawasan Indo-Pasifik atau negara-negara di sekitar Samudra Hindia dan Pasifik, mulai India sampai Filipina dan Australia. 


“Di kawasan Indo-Pasifik ini mayoritas (beragama) Buddha. Jadi ada 43 persen penduduk Indo-Pasifik ini beragama Buddha, yang Muslim itu cuma 42 persen. Ini data yang saya sendiri baru, belum lama saya dapat. Selebihnya yang lain-lain,” tutur Gus Yahya. 


Menurut Gus Yahya, apabila hendak berpikir tentang agenda pertumbuhan maka perlu dipikirkan mengenai strategi untuk mencapai tujuan ekonomi. Namun pada realitas saat ini, berbagai variabel perlu menjadi perhatian untuk dipertimbangkan dalam membangun agenda ekonomi, termasuk variabel berupa perbedaan-perbedaan budaya dan agama. Sebab, lanjut Gus Yahya, perbedaan budaya dan agama ini kerapkali memicu konflik besar di dunia ini sehingga akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. 


“Ketika kita berpikir tentang strategi untuk membangun episentrum pertumbuhan, membangun pusat pertumbuhan ekonomi di ASEAN ini, yang nantinya jelas kita berharap akan meluas ke seluruh kawasan Indo-Pasifik, kita harus berpikir juga tentang variabel-variabel yang lain, termasuk variabel-variabel heterogenitas masyarakat ASEAN dan Indo-Pasifik yang berpotensi mendorong terjadinya konflik-konflik sehingga bisa menghambat agenda membangun epicentrum of growth itu sendiri,” jelasnya. 


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor:  Muhammad Faizin