Nasional

Diskursus Ilmiah Keislaman-Keindonesiaan Kini Dinilai Stagnan

Jum, 13 November 2015 | 05:00 WIB

Bandung, NU Online
Diskursus pemikiran keislaman dan keindonesiaan selama ini mengalami kemandegan. Pesona pemikiran Islam tidak cermerlang karena terperosok pada lubang ideologisasi. Banyak muatan-muatan keislaman yang cenderung propagandis dan makin menjauh dari semangat keilmiahan.
<>
Hal itu dikatakan oleh Faiz Manshur, salahsatu penggagas gerakan Civic Islam dari Bandung. Terjebak pada arus ideologis di sini, menurutnya, bukan dalam konteks ideologi ilmiah, tetapi ideologi politik yang mengutamakan emosi, tindakan reaksioner dan pembelaan membabi-buta. Faiz mencontohkan misalnya, kelompok anti Syiah, anti Ahmadiyah dan anti Islam liberal sangat agresif mengemukakan pandangan, tetapi bukan kajian ilmiah tentang apa itu Syiah, apa itu Ahmadiyah dan apa itu Liberalisme, melainkan lebih mencari titik lemah untuk mengalahkan.  

Lebih jauh dari mutu keilmuan, gerakan-gerakan yang disebut masuk kubu fundamentalisme-reaksioner ini menurut Faiz sudah kelewat batas karena semangat mereka adalah semangat menghalalkan segala cara.

"Fitnah, hasut, mengeluarkan cacian sudah mewabah dan mendominasi media online. Orang-orang Islam di Indonesia kehilangan semangat elan vital pemikiran yang jernih. Fakta ini memprihatinkan karena seharusnya gerakan keislaman harus lebih melihat fakta-fakta problem kontemporer terkait dengan nasib rakyat dan mengambil solusi. Tetapi sekarang, banyak yang menggunakan keislaman itu sebatas untuk mengumbar hawa nafsu, mengumbar emosi, dan tidak menyasar pada maslahatul ummah," paparnya, Kamis (12/11).

Faiz Manshur berharap, para cendekiawan muslim senior angkatan 1980-an dan 1990-an turun kembali ke gelanggang diskursus pemikiran Islam dan menyapa para mahasiswa dan golongan santri angkatan 2000-2010 agar tumbuh generasi pemikir yang cemerlang. Sebab sekarang, setelah liberalisme politik mengalami kebuntuan, umat Islam tidak punya alternatif pemikiran yang cukup untuk menjawab problem hubungan individu, keluarga dan negara.

"Kalau kita membaca beragam buku, baik buku pemikiran maupun hasil riset-riset selama ini, tampak di kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah sama-sama punya problem soal ini. Saya sepakat dengan Buya Syafii maarif yang mengatakan di kalangan NU tumbuh kultur intelektual yang lebih maju untuk urusan pemikiran dibanding Muhammadiyah. Tetapi kita tahu perbandingan antara jumlah intelektual dan warga di NU tetap kurang. Karena itu khusus untuk teman-teman di NU harus ada yang serius mengurus gerakan pemikiran keislaman dan keindonesian lebih meluas," jelasnya.

Arah Pemikiran

Wacana keislaman dan keindonesiaan menurut direktur Nuindo Institute Bandung itu perlu diupayakann menjawab hubungan antara warga (individu), keluarga (domain oikos) dan negara (state). Menurutnya diskursus seperti ini sekalipun sudah terhampar sejak zaman Yunani, tetapi secara praktis belum menyebar di masyarakat.

"Republikanisme selalu memikirkan maslahat untuk warga. Karena itu pelaku gerakan Islam tidak boleh sebatas berhenti pada rumus-rumus lama hubungan antara civil society vs negara. Sudah saatnya umat Islam, khususnya para aktivis gerakan mahasiswa Islam punya mindset hubungan konsep tentang warga, keluarga dan negara. Sebab selama ini imajinasi masyarakat Islam hanya terkonsentrasi pada idealisasi keluarga dengan idealitas sakinah, melompat pada urusan negara, kekuasaan atau lebih tepat menguasai. Idealnya dari warga itu punya bayangan kewargaan yang jelas sehingga urusan politik tidak semata untuk kepentingan keluarga," terangnya.

Faiz Manshur merasa penting mengampanyekan pentingnya imajinasi kewargaan bukan semata agar tujuan menjadi warganegara yang baik, melainkan agar generasi muslim Indonesia punya pegangan pengabdian kepada warga secara serius.

"Bukan sebatas mengabdi kepada keluarganya sehingga menelantarkan persoalan warga. Ormas-ormas civil-society harus diperbaiki orientasinya dengan cara memasok pemikiran gerakan jenis baru agar Islam berdaya guna nilai-nilainya, bukan Islam sebatas digunakan untuk batu loncatan mencari kekuasaan yang ujung-ujungnya hanya untuk kemaslahatan keluarga," terangnya. (Ifa/Satar/Mahbib)