Nasional

Dulu, Berhaji Sarana Cari Ilmu dan Konsolidasi Usir Penjajah

NU Online  ·  Sabtu, 2 September 2017 | 12:02 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Penulis buku Masterpiece Islam Nusantara Zainul Milal Bizawie mengatakan, setelah perang Diponegoro usai, melaksanakan ibadah haji tidak hanya berfungsi sebagai ritual ibadah semata, tetapi sebagai sarana mencari ilmu dan konsolidasi dalam menentang penjajahan. 

"Haji itu tidak hanya ibadah saja, tapi sebagai sarana pertemuan, titik temu," katanya di Islam Nusantara Center Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (26/8) lalu. 

Dulu, perjalanan haji membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan dan paling ssbentar tiga tahun. Milal mengungkapkan, dalam perjalanan tersebut umat Islam Nusantara yang berhaji tersebut pasti melewati beberapa wilayah seperti Yaman, Haramain, dan tempat lainnya. Di tempat tersebut, mereka bertemu dengan para guru ulama dari Nusantara.

"Jadi, saat itu, haji tidak hanya ritual ibadah saja tapi juga menjadi sarana mencari ilmu," ungkapnya.

Selain itu, kata Milal, tradisi tukar menukar sanad keilmuan juga menjadi salah satu tradisi keilmuan Nusantara yang sangat marak pada saat itu antara peserta haji dari Nusantara dengan ulama Nusantara yang menetap di Timur Tengah, terutama Makkah. 

Syekh Nawawi Al Bantani menjadi tokoh sentral dalam tradisi tukar-menukar sanad itu. Sehingga hal itu menjadi perhatian bagi Belanda karena menganggap aktivitas tersebut bisa mengancam keberlangsungan penjajahan mereka di Nusantara. 

"Hingga (Belanda) mengutus Snouck Horgronje untuk melakukan penelitian, khususnya terkait Syekh Nawawi. Pemerintah kolonial ingin sekali mengetahui apa dampak haji bagi Muslim di Nusantara", terangnya.

Menurut Milal, kolonial Belanda terus mengawasi aktivitas dan gerakan ulama Nusantara setelah perang Jawa. 

"Termasuk (mengawasi) ulama-ulama Nusantara yang ada di Makkah," tukasnya. (Muchlishon Rochmat/Abdullah Alawi)