Nasional

UU Zakat Digugat di MK, Begini Respons LAZISNU PBNU

NU Online  ·  Selasa, 3 Juni 2025 | 19:30 WIB

UU Zakat Digugat di MK, Begini Respons LAZISNU PBNU

Gambar ini hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Sekretaris Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Moesafa, menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK), tidak mengandung pelanggaran prinsipil yang merugikan pihak mana pun dalam sistem tata kelola zakat nasional.


Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang digambarkan sebagai lembaga superbodi, menjadi subjek gugatan atas UU Zakat karena beberapa pasal dinilai memberikan kewenangan yang berlebihan kepada lembaga tersebut.


Moesafa menjelaskan bahwa anggapan ini muncul karena BAZNAS memiliki tiga fungsi utama sekaligus: sebagai regulator, auditor, dan operator zakat.


“BAZNAS memang diberi mandat oleh negara untuk melakukan fungsi-fungsi koordinatif dan standarisasi dalam tata kelola zakat,” ujarnya kepada NU Online pada Selasa (3/7/2025).


Namun, ia menyatakan bahwa audit umum dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik dan audit syariah dilakukan oleh Kementerian Agama, bukan oleh BAZNAS secara langsung.


Pasal-pasal yang digugat

Dalam gugatan tersebut, pemohon mempersoalkan sejumlah pasal, mulai dari Pasal 1 angka 7, 8, dan 9 hingga Pasal 31. Beberapa isu krusial yang dipersoalkan antara lain:

1. Pasal 5, 6, 7: Pembentukan BAZNAS oleh negara dianggap menutup ruang partisipasi masyarakat.

2. Pasal 16: Memberikan kewenangan kepada BAZNAS untuk membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di lembaga pemerintah, BUMN, maupun swasta.

3. Pasal 17 dan 18: Dinilai menyempitkan ruang partisipasi masyarakat dalam pembentukan LAZ karena mensyaratkan rekomendasi dari BAZNAS.


Menurut Moesafa, ketentuan-ketentuan tersebut perlu dilihat secara lebih jernih.


“Pasal-pasal ini justru membuka ruang partisipasi masyarakat, bukan menutupnya,” ujar Moesafa.


Perbedaan zakat dan filantropi

Moesafa juga menekankan bahwa zakat sangat berbeda dari filantropi. Menurutnya, hukum dan pengelolaan zakat pun tidak dapat disamakan.


“Zakat itu kewajiban syariat bagi setiap Muslim yang mampu, sedangkan filantropi bersifat kesukarelaan,” jelasnya.


Ia menambahkan bahwa peraturan zakat negara tidak berkaitan dengan syariat, tetapi hanya menyangkut tata kelola karena melibatkan dana publik dan partisipasi berbagai pihak.


Moesafa berpendapat bahwa ketiadaan rancangan khusus menyebabkan sistem zakat berbeda di berbagai negara Muslim.


“Ada negara yang menganggap zakat sebagai kewajiban negara (mandatori), ada juga yang memposisikannya sebagai voluntary (kesukarelaan),” terangnya.


Di Indonesia, zakat lebih dilihat sebagai bagian dari semangat filantropi yang sukarela, tetapi negara tetap mengatur pelaksanaannya.


Ia menegaskan bahwa negara tidak melakukan monopoli atas zakat. Justru, melalui UU Nomor 23 Tahun 2011 ini, masyarakat tetap diberi ruang luas untuk membentuk lembaga zakat independen.


“Masyarakat bisa mendirikan LAZ, dan ini sudah difasilitasi oleh regulasi. Negara hanya menetapkan standar dan pengawasan, bukan mengambil alih sepenuhnya,” katanya.


Ia menjelaskan bahwa dalam khazanah fiqih klasik pun, tanggung jawab pengelolaan zakat oleh negara adalah hal yang lazim. Ia menyebut bahwa pembentukan BAZNAS oleh negara adalah sah secara hukum dan syar’i.


Tidak ada kerugian muzakki dan mustahik

Moesafa kemudian menjawab kekhawatiran yang menilai pengelolaan zakat negara dapat merugikan pemberi (muzakki) maupun penerima zakat (mustahik).


“Para muzakki tetap bebas memilih kepada siapa zakatnya diberikan, apakah melalui BAZNAS, LAZ, atau langsung ke mustahik,” ujarnya.


Menurutnya, justru melalui pengelolaan yang baik, zakat yang dikumpulkan dan ditasarufkan (disalurkan) dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga zakat resmi.


Ia juga menilai wajar apabila zakat yang dikumpulkan oleh lembaga pemerintah diarahkan ke BAZNAS sebagai lembaga negara.


Moesafa menyimpulkan bahwa secara prinsip tidak terdapat kendala dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga amil zakat akibat UU Nomor 23 Tahun 2011.


“Beberapa permasalahan yang ada lebih pada aspek teknis tata kelola, dan itu bisa disempurnakan lewat aturan turunan, bukan dengan membatalkan undang-undangnya,” pungkasnya.