Nasional

Empat Hal Prinsip untuk Wujudkan Nasionalisme menurut Kiai Ishom

Kam, 27 Februari 2020 | 05:30 WIB

Empat Hal Prinsip untuk Wujudkan Nasionalisme menurut Kiai Ishom

Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin dalam KUII ketujuh di Bangka Belitung. (Foto: NU Online/Faizin)

Pangkal Pinang, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin menyebut ada empat perkara yang bersifat prinsip. Apabila dapat dilaksanakan, maka dapat mewujudkan rasa nasionalisme (cinta Tanah Air) di kalangan umat Islam.

"Pertama, menghormati dan menghargai setiap individu untuk menganut agama dan berkeyakinan tanpa pemeksaan kehendak, tanpa segresi, dan tanpa diskriminasi," jelasnya pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII Tahun 2020 di Provinsi Bangka Belitung, Kamis (27/2).

Kedua, lanjut Kiai Ishom, menghormati tatanan negara bangsa (nation states) dan sistem politik yang sah. Sehingga tidak boleh, misalnya, mengganti NKRI ke dalam bentuk khilafah. Ketiga, menghormati hukum negara dan mengakui pemerintahan yang sah, sehingga tidak menyebutnya dengan istilah thaghut misalnya.

"Keempat, berusaha mengutamakan terwujudnya keamanan, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial," paparnya.

Meskipun dengan alasan agama, intoleransi dan radikalisme menurutnya adalah perbuatan yang berlawanan dengan Islam dan berbahaya bagi kehidupan bersama. Sedangkan, Islam menganjurkan kepada setiap pemeluknya untuk menebar keselamatan, kasih sayang, dan menumbuhkan segala bentuk kebajikan. 

"Kedua penyakit tersebut selain perlu dicegah bagi mereka yang belum terjangkiti, tetapi perlu diobati bagi mereka yang telah terjangkiti, dan perlu diamputasi bagi mereka yang akut dan menularkan penyakit ini," tegasnya.

Intoleransi dan radikalisme juga dianggap berbahaya karena destruktif, meruntuhkan tatanan masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Keharusan melawan sikap intoleran dan radikal bukan sekedar karena agama Islam memerintahkannya, melainkan karena keduanya merusak citra Islam yang seharusnya dijaga oleh para pemeluknya dan juga karena keduanya bertentangan secara diametral dengan tujuan syariat Islam. 

"Al-Syaikh Abdullah Bin Bayyah menulis sebagai berikut: 'Di antara tujuan syariat Islam adalah memperindah citra Islam'," jelas Kiai Ishom.

Saat ini faktanya, intoleransi merebak bak jamur di musim hujan. Sebagian komunitas muslim, bahkan para ASN hingga sebagian kecil anggota TNI terpapar radikalisme. Berbagai riset dan survei yang dilakukan akademisi di kampus-kampus maupun LSM menyimpulkan bahwa intoleransi dan radikalisme telah mencemari kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga mengancam kehidupan sosial kita yang semula tenang dan harmonis.

"Perbedaan agama yang dianut relatif masih sering menjadi sumber konflik yang tidak mudah dikelola. Sudah tentu, ini mengancam keharmonisan hidup dalam rumah besar bersama, Indonesia," paparnya.
 
"Bahkan dalam satu agama yang sama, seperti yang terjadi pada sementara umat Islam, perbedaan penafsiran maupun ekspresi keberagamaan masih amat rawan konflik dan seringkali menafikan rasa persaudaraan," sambungnya.

Kiai Ishom juga menyoroti kelompok kecil kaum muslim namun bersuara lantang menjadi tantangan bagi kita semua yang mendambakan kehidupan yang lebih harmonis. Mereka itu selain amat sering bersikap diskriminatif, intoleran, juga bersikap radikal, kepada sesama muslim dan lebih-lebih terhadap non muslim. 

"Sebagian anggotanya tidak segan memberikan stigma negatif. Mudah sekali mengkafirkan, meneror, hingga memerangi siapa saja yang dinilai tidak sejalan dengan ideologi mereka. Kelompok kecil yang seringkali berteriak nyaring mengatasnamakan umat Islam tersebut saya pandang hanya sebagai sekelompok orang yang aktif berebut tempat dalam lapangan kekuasaan. Namun, mengabaikan keutuhan bangsa," pungkasnya.
 
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Musthofa Asrori