Nasional

Empat Hoaks yang Sering Menimpa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Rab, 13 Maret 2019 | 15:00 WIB

Jakarta, NU Online
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual hingga kini melahirkan pro dan kontra. Sayangnya, perdebatan tidak jarang diselingi beredarnya informasi sesat mengenai isi dan motif munculnya RUU ini.

“Sejatinya sikap (pro dan kontra) ini adalah baik apabila disertai dengan budaya cross check and recheck terhadap informasi yang diterima sehingga timbul keseimbangan informasi,” kata Muhammad Syamsudin, Ketua Tim Perumus Bahtul Masail Qanuniyah Munas Alim Ulama NU 2019 kepada NU Online, Rabu (13/3).  

Munas Alim Ulama NU yang berlangsung di Kota Banjar, Jawa Barat, 27 Februari-1 Maret lalu antara lain membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Antimonopoli dan Persaingan Usaha. NU melakukan kajian serius sejak Pra-Munas untuk memastikan rancangan regulasi yang ada memberi dampak maslahat bagi masyarakat.

Syamsuddin mengatakan, pihaknya sudah merangkum sejumlah informasi simpang siur terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pertama, ada tuduhan RUU ini merupakan sarana bagi pemerintah untuk melegalkan perzinaan. Bahkan dalam hal ini diisukan bahwa pemerintah akan membagi-bagikan alat kontrasepsi kepada generasi muda. 

“Mereka biasanya lantas mengeluarkan imbauan agar menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut dan dilanjutkan dengan upaya memilih salah satu pasangan calon presiden tertentu,” jelasnya.

Baca juga:
• 'Perdebatan' Para Kiai dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
• Munas-Konbes NU Setuju RUU PKS dengan Catatan
Kedua, tambahnya, beredar pula anggapan ada larangan bagi orang tua mendidik anaknya guna menjalankan tuntunan ajaran agama seperti perintah menutup aurat. Ketiga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menghilangkan wewenang wali mujbir untuk menikahkan anaknya dengan ancaman penjara bila hal tersebut dilakukan. Dan keempat, RUU tersebut merupakan titipan dari NGO internasional guna melegalkan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender).

Menurut Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Jawa Timur ini, semua isu ini beredar masif di media massa dan media sosial dan diembuskan oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab. 

“Faktor krusial dari isu tersebut adalah: ajakan guna meninggalkan memilih pasangan capres tertentu dan beralih ke pasangan capres lainnya; dan beredar draft rancangan yang salah dan tidak sebagaimana yang tertuang dalam Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual asli dan sejak jauh hari telah dipublikasikan lewat website resmi DPR,” jelasnya.

Bagaimanapun juga, kata Syamsuddin, penyampaian informasi yang tidak benar kepada masyarakat dengan data sumber yang tidak terverifikasi adalah sebuah tindakan yang tidak terpuji dan tidak bisa dibenarkan oleh syariat Islam. Bagi pelaku bisa dikenakan Pasal penyebaran berita bohong sebagaimana tertuang dalam UU Informasi Transaksi Elektronik (UU-ITE). 

Munas Alim Ulama NU 2019 sendiri mendukung diterbitkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, meski dengan sejumlah catatan. Forum tertinggi di NU setelah Muktamar itu juga mendorong DPR bersama Pemerintah segera mengesahkan RUU tersebut dengan memperhatikan suara para delegasi alim ulama NU se-Indonesia sebagaimana tertuang dalam hasil keputusan dan rekomendasi Munas NU Tahun 2019. (Mahbib)