Nasional

Faktor-faktor Orang Jadi Radikal dan Teroris Menurut Yenny Wahid

Sen, 3 Mei 2021 | 01:30 WIB

Faktor-faktor Orang Jadi Radikal dan Teroris Menurut Yenny Wahid

Yenny Wahid berbicara dalam sebuah forum PBB. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Direktur Wahid Foundation Hj Zanubba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid, menuturkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahid Foundation bahwa kegelisahan menjadi salah satu faktor besar tumbuhnya sikap intoleran dalam diri seseorang. Hal itu dikatakan Yenny dalam acara Salam Forum: Kompak Menebar Rahmah di Media Sosial, Sabtu lalu.


"Ada yang disalahpahami oleh banyak pihak bahwa agama adalah faktor yang menjadikan orang radikal atau menjadi teroris. Ternyata itu bukan faktor pertama bukan faktor paling besar, bukan ajaran agamanya sendiri yang menjadikan orang kemudian ikut masuk gerakan-gerakan radikal dan intoleran, tetapi faktor yang paling besarnya adalah kegelisahan, kecemasan, ketidakyakinan diri, kemarahan, dan lainnya," tutur Yenny.


Dia menyampaikan, dalam tinjauan grafologi (ilmu tentang aksara atau sistem tulisan) yang menganalisa para pelaku bom di Makasar dan di Mabes Polri bahwa para pelaku memiliki rasa kepercayaan diri yang rendah dan mempunyai tingkat kegalauan yang tinggi.


"Nah, orang-orang yang cemas dan galau ini kemudian bertemu dengan orang-orang yang melakukan provokasi dengan dalil agama untuk memberikan rasa aman dan rasa percaya diri yang semu. Jadi, dengan dalil agama didoktrin untuk membuat mereka merasa percaya diri dan penting diberi misi suci hingga mereka merasa menjadi pahlawan," terang Yenny.


Perlu juga diketahui selain doktrin-doktrin yang mengatasnamakan agama, doktrin politik juga kerap dijadikan alat provokasi. Contoh sederhana menurut Yenny, adalah provokasi yang dilakukan oleh Trump kepada para pendukungnya untuk menyerang Capitol Hill. 


"Jadi, provokasi lewat politik juga bisa terjadi," ujarnya. 


Yenny mengatakan, media sosial berperan besar menjadi pintu masuk utama dalam mempengaruhi struktur otak menjadi berbeda atau disebut juga Neuroplastisitas. 


"Neuroplastisitas adalah struktur otak yang menjadi berubah ketika dia terekspos dengan suatu hal secara terus menerus," kata Yenny. 


Melalui media sosial kelompok ekstremis biasanya menawarkan konten-konten untuk menampung keeksisan para pengikutnya. "Nah, ini proses perekrutan pertama, walaupun kemudian biasanya terjadi lagi lewat offline, tetapi bahwa sosial media bisa menjadi gateway (gerbang) untuk konten-konten yang tidak ramah terhadap masyarakat," ungkapnya. 


Maka solusinya, menurut Yenny, adalah memastikan adanya konten-konten yang bisa meminimalisasi bahkan menutupi konten-konten yang tidak ramah itu. 


"Nah, jadi kita harus secara sadar memastikan bahwa mereka nerima konten-konten yang berbeda. Intinya kita harus ekspos berikan pilihan lain bagi mereka melalui konten-konten yang ramah," jelas Yenny. 


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad