Nasional

Kuatkan Tradisi An-Nahdliyah, Cara Ansor-Banser Lawan Ekstremisme Beragama

Rab, 21 April 2021 | 06:30 WIB

Kuatkan Tradisi An-Nahdliyah, Cara Ansor-Banser Lawan Ekstremisme Beragama

Ilustrasi GP Ansor dan Banser. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Kepala Detasemen Khusus (Densus) 99 Asmaul Husna Gerakan Pemuda Ansor Nuruzzaman mengatakan, cara yang bisa dilakukan oleh kader Ansor dan Banser untuk melawan ekstremisme beragama adalah dengan menguatkan tradisi amaliyah keagamaan An-Nahdliyah. 


“Kader Ansor dan Banser sering menguatkan tradisi amaliyah keagamaan NU merupakan bagian dari upaya mencegah kelompok-kelompok ini masuk ke suatu wilayah, karena mereka anti-tradisi,” katanya dalam tayangan podcast di Kanal Youtube Gerakan Pemuda Ansor, pada Senin (19/4) sore.


“Maka pilihannya adalah menguatkan tradisi keagamaan atau amaliyah An-Nahdliyah di tengah-tengah masyarakat kita, setiap saat. Jadi semangatnya itu menjalankan perbuatan baik seperti memuji Allah dan Rasulullah sekaligus melawan kelompok ekstremisme beragama,” imbuh Kang Zaman, demikian pria asal Cirebon, Jawa Barat ini akrab disapa.


Ia meminta kader Ansor-Banser untuk merutinkan marhabanan atau pembacaan maulid Nabi Mmuhammad pada setiap malam Jumat, misalnya. Bisa juga dirutinkan agenda tahlilan dan istighatsah yang tidak hanya dilakukan pada momentum-momentum tertentu saja. 


“Harus dijaga rutinitasnya, karena itu bagian dari kontra radikalisme. Misalnya, adakan istighatsah seluruh cabang Ansor se-Indonesia yang memimpin Rijalul  Ansor. Baca qulhu, shalawat nariyah, atau apa pun. Ini salah satu jalan karena mereka menolak tradisi,” terang alumnus Pascasarjana FISIP Departemen Sosiologi pada 2004 ini.


Menurutnya, berbagai kebudayaan peninggalan sejarah negeri ini bisa terjaga dengan baik sampai sekarang lantaran masyarakat Indonesia senantiasa menghargai dan mampu menerima tradisi yang sudah berkembang sejak lama. 


“Tidak ada (negara) yang mayoritas umat Islam itu peninggalan atau warisan yang tetap dijaga dan hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Tapi Candi Borobudur, Prambanan, Mendut, dan Cetho tidak ada yang merusak. Meskipun Candi Borobudur pernah dibom tahun 1985,” katanya. 


“Mayoritas yang tinggal di situ kan umat Islam, tetapi kenapa masih tetap dijaga? Karena menghargai tradisi dan budaya yang sudah ada, sehingga keberadaannya tidak pernah merusak apa pun,” imbuh Kang Zaman. 


Ditegaskan bahwa jika semua peninggalan yang disebutkan itu terletak di Afghanistan, Irak, dan  Suriah mungkin saja sudah hancur. Sekalipun masih ada maka membutuhkan upaya yang lebih ekstra agar peninggalan-peninggalan tersebut tidak hancur. 


“Kalau di Indonesia kan memang lebih kepada semangat yang muncul dari masyarakat Islam kita yang mau menjaga dan mempertahankan tradisi. Jadi, menjaga tradisi itu selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama, boleh dilakukan,” tegas Kang Zaman.


Selain itu, ia menjelaskan bahwa Densus 99 Asmaul Husna GP Ansor didirikan sebagai sistem peringatan dini (early warning system) kepada pemerintah ditambah dengan melakukan respon cepat terhadap berbagai fenomena ekstremisme yang terjadi. 

 

“Jadi setelah kita bisa memantau dan memonitoring kejadian awal atau tanda-tanda, maka kita langsung bisa merespons dengan cepat. Tentu kita tahu bahwa tidak semua kader Ansor-Banser aware (sadar) terhadap isu-isu ini, bahkan terhadap gejala-gejalanya. Hanya orang-orang tertentu saja,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad