Jakarta, NU Online
Ketua Tim Kajian GP Ansor untuk Rohingya Mahmud Syaltout menilai, Indonesia menggunakan pendekatan kemanusiaan dalam hal strategi diplomasi, yaitu memberikan bantuan kemanusiaan seperti makanan, obat-obatan, dan pakaian. Menurut dia, diplomasi pemerintah Indonesia sudah baik, tetapi itu belum cukup.
“Diplomasi yang dilakukan Indonesia, tidak cukup karena itu hanya adressing issue, tetapi akar masalahnya, bahwa mereka diusir dari tanahnya belum selesai,” kata Syaltout kepada NU Online di Jakarta, Jumat (15/9).
Ia menjelaskan, timnya membuat tiga klaster atau klasifikasi pendekatan strategi untuk Rohingya. Pertama, klaster Erdogan atau mereka yang melihat apa yang terjadi terhadap Rohingya adalah persoalan agama.
Kedua, klaster Jokowi. Klaster ini memandang apa yang terjadi di Myanmar adalah permasalahan kemanusiaan.
Ketiga, klaster GP Ansor atau geopolitik. Klaster ini melihat bahwa apa yang terjadi di Rohingya bukan hanya sekadar kemanusiaan saja, tetapi ada persoalan geopolitik di sana.
“Jadi, persoalan kemanusiaan plus geopolitik,” ujarnya.
Dosen Universitas Indonesia itu berharap, Indonesia seharusnya menggunakan pendekatan yang ketiga, yaitu pedekatan geopolitik. Menurut dia, perdamaian yang berkelanjutan akan terjadi kalau seandainya pendekatan yang digunakan adalah geopolitik.
Pendekatan geopolitik adalah pendekatan dengan menggunakan semua instrumen dengan tekanan-tekanan politik.
Ia juga meminta pemerintah Indonesia untuk lebih tegas lagi dalam mengambil posisi dan menggalang diplomasi dengan negara-negara lain.
“Terutama menggalang diplomasi dengan China, India, Thailand, dan Korea Selatan. Negara-negara inilah yang menjadi kunci besar dalam menyelesaikan persoalan Rohingya,” tutupnya. (Muchlishon Rochmat/Abdullah Alawi)