Nasional

Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta: Debat Capres-Cawapres Jadi Faktor Kunci Pengaruhi Pemilih

Rab, 27 Desember 2023 | 15:00 WIB

Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta: Debat Capres-Cawapres Jadi Faktor Kunci Pengaruhi Pemilih

Kolase capres-cawapres 2024. (Ilustrasi: NU Online/Aceng)

Jakarta, NU Online

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Burhanudin Muhtadi mengatakan bahwa debat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) menjadi faktor kunci untuk memengaruhi pemilih.


Menurut Burhan, berdasarkan data yang dikumpulkan sejak pemilihan presiden (pilpres) 2004 hingga kini, tidak ada acara politik yang berhasil menarik perhatian pemilih sebesar debat capres-cawapres.


"Sehebat apapun paslon melakukan blusukan dari Sabang sampai Merauke, tidak akan mampu menjangkau pemilih seluas debat," ujarnya pada Rilis Temuan Survei Nasional Indikator Politik bertajuk Peta Elektoral Pasca Debat Capres-Cawapres, Selasa (26/12/2023).


Burhan menjelaskan bahwa dari data tahun 2004 hingga sekarang, mereka yang menyaksikan debat berada di kisaran 30-56 persen. Meskipun persentase pemirsa debat terbilang tidak merata, tetapi tidak ada acara politik lain yang mampu menarik perhatian pemilih sebesar debat. Hal ini disebabkan karena debat disiarkan melalui berbagai media, terutama televisi dan saluran informasi digital lainnya.


Menurutnya, debat menjadi suatu yang krusial untuk menarik swing voters, yakni pemilih rasional yang dapat berubah pilihan sesuai ide atau gagasan tertentu dan pemilih undecided (bimbang) atau pemilih yang belum punya pilihan.


"Ini krusial, karena sehebat apa pun calon, kalau tidak mampu menjangkau pemilih seluas mungkin, maka akan mustahil mendatangi 204 juta pemilih dalam konteks waktu yang tinggal dua bulan lagi menjelang pemilu, bahkan kurang dari dua bulan," jelas Burhan.


Debat Pilpres di Amerika

Ia mencontohkan debat di Amerika Serikat pada 1960. Kala itu adalah debat yang pertama kali ditayangkan melalui televisi. Pemirsa televisi cenderung mendukung Kennedy karena penampilannya yang menarik, sedangkan pendengar radio cenderung mendukung Nixon karena fokus pada substansi debat, tanpa melihat penampilan visual kedua calon.


"Pada saat itu ada temuan yang menarik, bahwa debat melibatkan Nixon, yang merupakan wakil presiden petahana, melawan senator muda John F Kennedy. Ternyata efeknya bukan hanya dari si calonnya sendiri, tetapi media juga memperantarai efek debat tadi, dipersepsi secara berbeda oleh audiens," jelasnya.


Burhan menjelaskan bahwa ada permasalahan yang muncul dari situasi tersebut. Nixon pada debat tahun 1960 tampil di televisi dengan muka yang pucat. Bahkan ada yang  mengatakan lupa mencukur jambangnya yang masih lebat, dan konon memakai jas yang berwarna gelap. Sementara John F kennedy, senator muda, ganteng, tampil sangat elegan, flamboyan dengan jas yang straining.


"Itu yang menjelaskan kenapa Kennedy menang secara debat menurut audiens penonton televisi. Tetapi bagi kalangan pendengar radio, ternyata mereka justru mengunggulkan Nixon sebagai pemenang debat, karena bagi pendengar radio mereka tidak melihat penampilan dari kedua calon, hanya mendengarkan suara. Berdasarkan evaluasi pendengar radio, dari sisi substansi, Nixon jauh lebih menguasai topik dari Kennedy yang orang sebut sebagai senator muda," pungkasnya.