Nasional

Gus Baha Jelaskan Pentingnya Kuasai Gramatika Bahasa Arab dalam Menafsir Al-Qur’an

Kam, 2 Maret 2023 | 15:30 WIB

Gus Baha Jelaskan Pentingnya Kuasai Gramatika Bahasa Arab dalam Menafsir Al-Qur’an

Gus Baha saat mengisi Haflah Attasyakkur ‘Ala Ikhtitami Alfiyah Ibni Malik di Pondok Pesantren Al-Falah Putri Ploso, Kediri, Senin pekan lalu. (Foto: Ning Jazil)

Kediri, NU Online

Pengasuh Pondok Pesantren Lembaga Pembinaan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Al-Qur'an (LP3IA) Rembang KH A Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menjelaskan pentingnya belajar nahwu, sharaf, balaghah, mantiq sebelum menafsirkan Al-Qu’an.


Hal ini disampaikannya saat Haflah Attasyakkur ‘Ala Ikhtitami Alfiyah Ibnu Malik di Pondok Pesantren Al-Falah Putri Ploso, Kediri, Senin pekan lalu.


“Berkahnya Alfiyah ini jadi solusi, dan keharusan bagi semua orang, agar tidak menafsirkan Al-Qur’an sebelum menguasai gramatika bahasa Arab. Karena kita harus belajar Alfiyah dan balaghah,” jelasnya.


Menurut Gus Baha, akan jadi rancu ketika seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an tanpa belajar gramatika bahasa Arab. Dikarenakan memahami ayat Al-Qur’an butuh ilmu khusus.


Ia mencontohkan, kata kafir memiliki fiil madli kafara, jamaknya bisa kuffar (كفار) dan bisa juga kafiruna (كافرون). Penjelasan ini bisa dipahami ketika seseorang belajar tatanan bahasa Arab secara intens dari kitab nahwu seperti Alfiyah Ibnu Malik.


“Saya hanya memastikan, bahwa tidak ada kitab yang memberkahi Indonesia seperti Alfiyah Ibnu Malik dalam bab nahwu,” imbuhnya.


Dikatakan Gus Baha, di Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 54 ada kata مَن يَرْتَدَّ (mayyartadda), dengan ‘dal’ yang diidghomkan. Di ayat yang lain, redaksinya menggunakan ‘dal’-nya tidak diidghomkan seperti di surat Al-Baqarah ayat 217 berbunyi مَن يَرْتَدِدْ.


Hal ini pula membuat ulama sekelas Imam Sibawaih ketika baca Al-Qur’an, hadis, kitab bahasa Arab, sebelum kagum dengan makna, ia lebih dahulu kagum pada penggunaan variasi bahasa Arab atau diksi.


“Ada redaksi Maiyartadda, bil idghom, posisi jazem. Sebagian ayat, wa mayyartadid. Sama-sama pernah dipakai Al-Qur’an. Bagi peneliti bahasa, mereka kagum. Karena semua varian yang sah menurut bahasa Arab dipakai oleh Al-Qur’an,” tegasnya.


Gus Baha menambahkan, pentingnya memahami ilmu balaghah terlihat dalam ayat ke 18 dari surat Al-Baqarah:


صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ


"Summum bukmun 'umyun fa hum lā yarji'ụn"


Secara lafadz ayat ini bermakna tuli, bisu dan buta, padahal secara fisik tidak ada masalah tersebut. Hal ini bisa dipahami ketika mengaji balaghah. Agar tidak salah paham dan dikritik orang banyak.


Mereka yang dikatakan tuli karena tidak mau mendengarkan kebenaran, dikatakan bisu karena tidak mau bicara kebenaran, dikatakan buta karena tidak mau melihat kebenaran. 


Di kitab balaghah Jauhar Al-Maknun diajarkan tasbih, jika orang ganteng biasa maka dikatakan anta kal badrun (kamu seperti rembulan), menggunakan tambahan ‘kaf’. Jika ganteng banget maka menggunakan redaksi anta badrun (kamu bulan) dan anta syamsun, tanpa ‘kaf’.


“Begitu juga untuk summum, bukmun, tanpa ‘kaf’ berarti sangat luar biasa,” beber Gus Baha.


Sebagai seseorang yang mendalami Al-Qur’an, Gus Baha belajar Alfiyah di Pesantren KH Maimoen Zubair Sarang. Ia memiliki jalur sanad Alfiyah ke Kiai Karim Lirboyo dan KH Djazuli Ploso.


Ulama-ulama Indonesia juga mempelajari kitab Alfiyah agar memahami Al-Qur’an secara benar. Ulama seperti Syeikhona Kholil, Mbah Soleh Darat, Kiai Karim Lirboyo dikenal sangat menguasai Alfiyah. Kemudian ada istilah Alfiyah KH Djazuli.


Alfiyah Ibni Malik merupakan buku syair (berirama) tentang tata bahasa Arab dari abad ke-13. Berisi dasar-dasar memahami bahasa arab.


Bahkan, KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya yang berjudul Risalah Ahlussunnah, berpendapat bahwa mempelajari nahwu berhukum bid’ah waajibah “Saya secara sanad Alfiyah dari guru, selain Kiai Karim, yaitu KH Djazuli Ploso,” tandas Gus Baha.


Kontributor: Syarif Abdurrahman

Editor: Fathoni Ahmad