Nasional MODERASI BERAGAMA

Gus Dur dan Kerukunan Umat Beragama di Kelenteng Hok le Kiong Tegal

Ahad, 21 November 2021 | 19:30 WIB

Gus Dur dan Kerukunan Umat Beragama di Kelenteng Hok le Kiong Tegal

Kerukunan umat beragama di Kelenteng Hok le Kiong Slawi, Kabupaten Tegal. (Foto: dok. istimewa)

Bicara masyarakat Tegal, Jawa Tengah, lazimnya orang mengenal fenomena warteg sebuah akronim dari kata ‘warung’ dan ‘Tegal’. Kata Tegal tak hanya merujuk pada asal usul daerah dari para pengusaha kuliner itu namun juga membicang toleransi beragama yang menjadi alat penting dalam proses menjaga keutuhan masyarakat bangsa.


Salah satu yang menjadi pusat perhatian masyarakat perihal toleransi antaragama adalah Kelenteng Hok le Kiong yang berada di Slawi, sebuah kecamatan yang menjadi pusat administrasi Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.


Bangunan bersejarah ini tampak mencolok berhias raya dengan dominasi warna merah terang. Bagian atap utamanya menampakkan sepasang naga mengapit mutiara yang menyala. Lampion-lampion merah pun bergelantungan di langit-langitnya. Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, warna merah ini sebagai simbol kebahagiaan. Tempat ini juga mempunyai nilai sejarah yang tinggi.


Bangunan yang diberi nama Kelenteng Hok le Kiong atau istana kemakmuran dan kebahagiaan ini terletak di jalan Jenderal Ahmad Yani No 18 Slawi. Hingga saat ini bangunan berusia 106 tahun itu masih digunakan sebagai tempat ibadah warga keturunan Tionghoa sekaligus tempat mempertahankan dan melestarikan budaya, ajaran leluhur, serta pusat bersosialisasi sesama warga Tionghoa dengan warga bumiputra. 


Kelenteng yang menghadap ke selatan arah gunung itu kaya akan simbol atau ornamen yang berhubungan dengan kepercayaan aliran Buddha, Tao, dan Konfusianisme. Kelenteng ini berdiri sejak 29 Mei 1915 silam. Hal itu dibuktikan dengan sebuah papan yang bertuliskan tahun 1915 menggunakan bahasa Belanda dan sebuah prasasti yang menuliskan nama-nama donatur pembangunan Kelenteng tersebut.


Saat dihubungi NU Online, Selasa (16/11/2021) lalu. Ketua Yayasan Irawan mengatakan Kelenteng Hok le Kiong ini sebenarnya sudah berdiri sebelum tahun 1915. Namun dikarenakan tidak ada bukti otentik akhirnya mengacu pada prasasti verenegeng yang memang masih ada sampai sekarang dan itu ada di tahun 1915.


Saat memasuki salah satu ruangan di Kelenteng tersebut, tampak lukisan Gus Dur memakai peci rotan dan mengenakan pakaian tardisional China, Changshan, terpasang di dinding ruangan. Hal itu tentu bukan tanpa alasan, gambar Presiden ke-4 itu dipasang oleh pengurus Kelenteng.


Bagi umat Konghucu dan etnis Tionghoa, Gus Dur dinilai sebagai sosok yang berjasa bagi mereka sebab masa pemerintahan Gus Dur memberikan kebebasan untuk beribadah dan menjalankan tradisi perayaan Imlek dan menetapkan Tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional.


“Karena jasa beliaulah kami sebagai warga mendapatkan lagi tempat yang sama di Republik Indonesia sekaligus mencabut peraturan tentang pelarangan adat dan istiadat Tionghoa yang selama orde baru dilarang,” ujar pengurus Kelenteng Hok le Kiong, Alex Fernando mengenang jasa KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.


Simbol Toleransi

Sama halnya dengan kepercayaan agama lain, masyarakat Tionghoa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi yang telah diwarisi oleh para leluhurnya. Misalnya, toleransi dalam bentuk ritual dan sesajian yang berakulturasi dengan kebudayaan bumiputra terus dipegang erat hingga kini bahkan sejak berdirinya Kelenteng Hok le Kiong. 


Selain itu, kekaguman terhadap sosok Gus Dur yang dikenal memiliki kepedulian terhadap toleransi pun menjadi inspirasi pengurus Kelenteng untuk terbuka dengan masyarakat luas. Tak ayal, pada perayaan 100 tahun kelenteng 2015 lalu pengurus mengundang ulama kharismatik Habib Luthfi Pekalongan dan beberapa tokoh lintas agama untuk mengisi pengajian di sana.


“Habib Luthfi berulang kali menyampaikan bahwa Kelenteng Slawi sangat mengedepankan toleransi dari segi ritual, tata sembahyang, sesajian, dan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena itu Habib Luthfi mengatakan bahwa kelenteng Slawi sebagai simbol toleransi di Kabupaten Tegal,” terangnya.


Forum Silaturahmi Nusantara

Praktik toleransi di Kelenteng Hok le Kiong hingga kini masih terus berjalan. Namun demikian untuk merawat toleransi di Kabupaten Tegal, pihaknya bersama pengurus Kelenteng lain terus berupaya agar anak-anak muda melanjutkan kerukunan ini dengan membentuk sebuah wadah bernama Forum Silaturahmi Nusantara (FSN) atau forum persaudaraan lintas agama dan kepercayaan yang tujuannya tak lain untuk mengurangi degradasi toleransi yang berada di wilayah Kabupaten Tegal. 


Beberapa kali forum ini mengadakan kegiatan yang melibatkan pemuda lintas agama salah satunya kemah bakti bekerjasama dengan Polres Tegal, Haul Gus Dur, bedah buku karya pengurus Lesbumi PBNU, Abdulloh Wong dan aksi damai hari toleransi internasional. 


Ketua Ansor Dermasandi Pangkah Tegal, Mohammad Naenul Rizqoni yang juga masuk dalam jajaran pengurus muda FSN menyampaikan, Kelenteng Hok le Kiong Slawi ini sarat akan nilai-nilai toleransi. Ia menceritakan pengalamannya saat memasuki sebuah ruangan yang sering dijadikan tempat berkumpul lintas agama.


“Di pojok Kelenteng ada sebuah ruangan kosong yang sengaja dikhususkan untuk jadi tempat shalat atau Mushola. Ini sesuatu yang luar biasa bagi saya orang yang baru pertama kali masuk Kelenteng. Belum lagi soal hidangan yang disajikan saat rapat, menyuguhkan makanan yang biasa dikonsumsi teman-teman muslim,” tuturnya saat menggambarkan suasana di Kelenteng Hok le Kiong.


Kunci utama komunitas ini menurutnya yakni menjunjung tinggi toleransi dan sikap menghormati satu sama lain. “Ini membuktikan bahwa perbedaan itu rahmat dan tidak perlu diperdebatkan,” tegas Rizqon.


Bakti Sosial Lintas Agama

Yayasan Adhi Dharma kelenteng Hok le Kiong aktif melakukan berbagai kegiatan salah satunya bakti sosial untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Istimewanya, setiap bulan suci ramadhan pengurus Kelenteng juga menyediakan atau mengadakan buka bersama mengundang lintas agama, organisasi masyarakat, dan warga dilingkungan sekitar Kelenteng. 


Sekretaris Yayasan Adhi Dharma. Indra Kurniawan menjelaskan bahwa Yayasan Adhi Dharma kelenteng berperan aktif dalam segala acara sosial, bersinergi dengan organisasi-organisasi lintas agama yang ada di Kabupaten Tegal.


Gedung serbaguna ini juga bekerjama dengan pemerintah daerah, kecamatan, kelurahan untuk melakukan kegiatan seperti vaksin, pemilihan umum serta pembagian sembako kepada masyarakat yang tidak mampu tanpa pandang bulu.


Kesenian Barongsai pemersatu Etnis dan Budaya di Tegal

Ada yang menarik dari kesenian hasil karya masyarakat Tionghoa yang diwariskan nenek moyangnya secara turun temurun yakni Barongsai. Kesenian barongsai sebagai salah satu dari wujud budaya yang berkembang di Slawi.


Hiburan ini sangat menarik tak hanya bagi masyarakat etnis Tionghoa tapi juga masyarakat secara umum di lingkungan setempat. Kesenian barongsai bagi masyarakat Tionghoa menjadi lambang keberuntungan dari suatu kesenian yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan semua golongan. 


Meskipun tarian barongsai berasal dari China namun masyarakat Tegal tetap senang menyaksikan tarian ini. Tidak heran jika atraksi barongsai kerap dijumpai diberbagai acara salah satunya pawai ta’aruf kebangsaan dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar setiap tahun oleh masyarakat dukuh Babakan, Lebaksiu, Tegal.


Alex mengibaratkan keberagaman seperti alat musik yang bisa menghasilkan nada dan melodi yang indah dan lengkap karenanya ia berharap keberagaman ini terus mewarnai kehidupan masyarakat Tegal yang beragam.


Penulis: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad