Nasional

Gus Dur Dilengserkan karena Negarawan, Bukan Politisi

Rab, 11 Maret 2020 | 02:00 WIB

Gus Dur Dilengserkan karena Negarawan, Bukan Politisi

Virdika Rizky Utama dalam diskusi buku Menjerat Gus Dur di pembukaan PKL GP Ansor Pamekasan. (Foto: NU Online/Hairul Anam)

Pamekasan, NU Online

Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tidak terbukti korupsi dan sama sekali tidak bersalah sebagaimana difitnahkan oleh lawan-lawan politiknya. Meski dilengserkan, Gus Dur tetap menerima dengan lapang dada. Sebab, dia seorang negarawan sejati bukan politisi.

 

Hal itu mencuat dalam diskusi bedah buku Menjerat Gus Dur dalam pembukaan Pelatihan Kepemimpinan Lanjutan (PKL) GP Ansor Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, di Hotel FrontOne Pamekasan, Selasa (10/3).

 

"Negarawan sejati dan politisi jelas punya perbedaan yang cukup kentara," tegas sang penulis buku terbitan Numedia Digital Indonesia, Virdika Rizky Utama.

 

Seorang politisi, terang Virdi --panggilan akrab Virdika Rizky Utama-- yang dikedepankan selalu untung-rugi. Akibatnya, dia kerap bersikap pasif ketika dihadapkan pada persoalan kebangsaan. Bahkan, bisa tega mengorbankan orang banyak demi eksistensi diri dan jabatannya.

 

Sementara negarawan sejati, tambah Virdi, akan selalu siap mengorbankan diri dan jabatannya demi kemaslahatan orang banyak. Dia tidak pernah berpikir dan bertindak berdasarkan untung-rugi untuk diri maupun jabatannya.

 

"Gus Dur mau dilengserkan, karena beliau negarawan sejati. Meskipun jutaan umat siap mati membelanya, beliau tetap bergeming pada pendiriannya rela dilengserkan demi keselamatan bangsa," tegas Virdi yang disimak oleh 59 peserta PKL yang sebelumnya sudah lulus Pelatihan Kepemimpinan Dasar (PKD) GP Ansor.

 

"Bagi Gus Dur, dan ini sudah sering dikutip oleh banyak kalangan saat ini, tidak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian. Penegasan Gus Dur ini karena politik baginya jauh di bawah kemanusiaan," tegasnya.

 

Bagi GusDur, tambahnya, kemanusiaan di atas segalanya, apalagi hanya dalam urusan politik. Itu hal yang prinsipil, bukan furu'iyah, bukan sesuatu yang bisa diotak-atik atau ditoleransi.

 

"Sebenarnya bisa saja Gus Dur tidak jadi dilengserkan. Yaitu, mau mewujudkan sebuah bisikan agar Fuad Bawazier tidak diusik dan ditarik ke kabinetnya. Tapi berhubung Gus Dur tahu betapa Fuad Bawazier tidak layak mengemban amanah pemerintahan, dia tetap teguh pendirian untuk melawan," ungkapnya.

 

Dari fakta tersebut, ujar Virdi, tidak heran bila dalam proses investigasi yang dilakukannya ditemukan dokumen rahasia yang ditulis Fuad Bawazier. Dokumen empat halaman tersebut berupa surat laporan terkait rencana-rencana yang sudah dilakukan untuk menjatuhkan Gus Dur.

 

Surat yang dikirim ke Akbar Tandjung pada 29 Januari 2001 itu, mengungkap pelaksanaan rencana yang diberi nama Skenario Semut Merah. Di dalamnya terdapat nama-nama dengan tugas masing-masing orang yang sudah dilaksanakan.

 

"Spirit kemanusiaan atau kebangsaan Gus Dur ini merupakan warisan positif yang mesti kita lestarikan. Jangan hanya karena politik atau perbedaan, kita menjadi retak," tekannya.

 

Dalam kesempatan itu, pelengseran Soekarno juga sempat didiskusikan. Pelengseran proklamator kemerdekaan tersebut, tambah Virdi, kurang begitu disikapi serius oleh para pendukungnya.

 

"Para Marchaen kadang tidak sadar betapa Soekarno itu dilengserkan. Sampai sekarang, tidak ada pengungkapan secara massif dari kalangan Marchaen yang mendukungnya. Dan kalangan Marchaen ini mengalami penyusutan secara kuantitas maupun kualitasnya," ungkap Virdi.

 

Berbeda dengan Gus Dur, ungkap Virdi, pelengseran terhadapnya memberikan bekas sejarah dalam diri bangsa, tidak hanya pada kalangan Nahdliyin.

 

"Gus Dur dulu melawan oligarki sendirian. Beliau tahu secara politik akan kalah. Mengapa sendirian? Karena pada waktu itu warga NU belum cerdas-cerdas seperti saat ini," kata Virdi disambut gelak tawa hadirin.

 

Bagi Virdi, buku yang ditulisnya bukan dalam rangka balas dendam dari kalangan Nahdliyin. Tapi, itu murni pengungkapan sejarah. Apalagi dirinya bukan dari kalangan Nahdliyin, sehingga data-data yang dihadirkannya betul-betul terbilang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Hadirin tampak khidmah mengikuti jalannya diskusi. Mereka juga mempersembahkan al-Fatihah dan doa untuk Gus Dur. Mereka jadi saksi betapa Gus Dur orang baik yang meskipun wafat, hingga kini masih mampu merekatkan hubungan positif bangsa ini.

 

Kontributor: Hairul Anam

Editor: Aryudi AR