Nasional HARI BURUH

Gus Mus Menginspirasi Gerakan Buruh (I)

Sel, 30 April 2013 | 23:06 WIB

Jakarta, NU Online
Tanggal 1 Mei, merupakah salah satu momen terpenting bagi kaum pekerja atau buruh. Berawal dari perjuangan kaum buruh untuk memperjuangkan hak-haknya, 1 Mei 1886 ditetapkan sebagai Hari Buruh se-Dunia.

<>Momentum tersebut kemudian dikenal sebagai May Day. Dari tahun ke tahun, tanggal 1 Mei selalu diperingati dengan pelbagai cara, mulai dari aksi turun jalan, rapat umum, mimbar bebas, tuntutan melalui media seni dan budaya, hingga ritual keagamaan.

Tuntutan yang digagas dari tahun ke tahun pun beragam, mulai dari masalah pengupahan, kebebasan berserikat, PHK, jaminan sosial, penolakan alih-daya (outsourcing) hingga tuntutan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Namun selalu ada satu benang merah dari bermacam tuntutan tersebut, yakni upaya perbaikan atas tata kelola ketenagakerjaan dan enforcement terhadap kebijakan perburuhan.

Masalah-masalah di atas mendorong pekerja atau buruh untuk menyuarakan aspirasinya pada May Day. Kaum buruh tersebut tergabung dalam serikat buruh atau serikat pekerja yang jumlahnya sekitar 2.000 organisasi pekerja di tingkat perusahaan di seluruh Indonesia.

Lalu, apa hubungannya serikat buruh/pekerja dengan KH. A. Musthofa Bisri, kiai NU yang akrab dengan sapaan Gus Mus itu? Apakah ia tokoh atau petinggi serikat buruh? Tentu bukan. Tetapi ada sisi tersembunyi yang selama ini tidak banyak terungkap. Bahkan Gus Mus sendiri barangkali tidak menyadarinya.

Adalah Soeharjono, Workers Specialist pada International Labour Organization (ILO), yang mengungkapkan bahwa Gus Mus menjadi sumber inspirasi tersendiri bagi serikat buruh atau serikat pekerja untuk mereformulasikan gerakannya.

“Banyak sekali puisi-puisi Gus Mus yang menjadi sumber inspirasi dan refleksi kawan-kawan serikat buruh,” Bung Yono mengawali kesaksiannya kepada NU Online, di Jakarta, Selasa, (30/4).

Orang yang bekerja di ILO sejak 25 tahun yang lalu ini menjelaskan, bahwa dalam pelatihan-pelatihan perburuhan yang difasilitasi ILO, dirinya kerap membaca atau sekadar memutar puisi-puisi kiai asal Rembang tersebut.

“Puisi yang berjudul Negeriku, misalnya, benar-benar terasa menyentuh kaum buruh. Bait majikan-majikan bangsaku // memiliki buruh-buruh mancanegara // brankas-brankas ternama di mana-mana // menyimpan harta-hartaku // negeriku menumbuhkan konglomerat //dan mengikis habis kaum melarat,” tandas Bung Yono yang seolah sangat akrab dengan puisi tersebut.

Masih menurut Soeharjono, puisi Wakil Rais Aam PBNU berikutnya yang sering dibacakan di pelatihan-pelatihan buruh, berjudul Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana. Bait Aku harus bagaimana // Aku kau suruh maju // aku mau maju kau selimpung kakiku // Kau suruh aku bekerja // aku bekerja kau ganggu aku.

Puisi-puisi tersebut benar-benar menggungah kesadaran aktivis perburuhan, terutama buruh yang baru awal-awal masuk di keanggotaan serikat buruh.

Masih menurut kesaksian Bung Yono, puisi-puisi Gus Mus tersebut selalu dibacakan di sesi akhir pelatihan atau kegiatan. Selalu saja disambut dengan tangisan, yang kemudian menumbuhkan militansi buruh untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri.


Redaktur         : Abdullah Alawi
Kontributor     : Irham Ali