Nasional

Gus Nadir: Pancasila Sejatinya Sudah Ada Sejak Zaman Walisongo

Ahad, 30 Juli 2023 | 06:30 WIB

Gus Nadir: Pancasila Sejatinya Sudah Ada Sejak Zaman Walisongo

Rais Syuriyah PCINU Australia Prof Nadirsyah Hosen saat berbicara pada halaqah internasional bertema Peradaban Walisongo untuk Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, Kamis (27/7/2023) malam. (Foto: YouTube Official Menara Kudus)

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama ((PCINU) Australia dan New Zealand Prof Nadirsyah Hosen mengungkapkan bahwa Pancasila sebenarnya sudah ada sejak zaman Walisongo. Bung Karno tinggal menyistematisasikannya. Ketika Bung Karno menyistematisasikan Pancasila, sejatinya sedang menggali nilai-nilai yang diajarkan Walisongo.


Hal tersebut dikatakan Gus Nadir saat berbicara pada halaqah internasional bertema Peradaban Walisongo untuk Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, Kamis (27/7/2023) malam.


“Sehingga ketika sekarang kita berbicara kemanusiaan yang adil dan beradab  maka kita melihat bahwa ternyata simbol sila ke-2 pancasila dalam diri kita adalah menara Kudus. ini yang tidak bisa dilupakan begitu saja karena sila tersebut cocok dengan apa yang diajarkan oleh kiai-kiai yang ada di pondok pesantren,” paparnya dalam YouTube Official Menara Kudus dilihat NU Online, Sabtu (29/7/2023).


Guru Besar Universitas Monash Australia itu menjelaskan bahwa KH Mustofa Bisri (Gus Mus) sering mengatakan dalam berbagai forum bahwa agama itu harus memanusiakan kembali sisi kemanusiaan. Jika agama membuat kita tidak kembali kepada jati diri kemanusiaan, maka ada sesuatu yang salah dalam doktrin dalam tafsir atau dalam pemahaman agama itu.


Menurutnya, ketika Ketuhanan Yang Maha Esa dilanjutkan dengan Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka semua pelaksanaan ajaran agama tidak boleh membuat seseorang menjadi manusia yang penuh ketidakadilan dan kebiadaban. Karena lawan dari adil adalah zalim maka sebagai manusia tidak boleh berlaku zalim.


“Kita boleh membenci perilaku orang lain, sikap orang lain, tidak tanduk orang lain, tetapi kita tidak boleh membenci diri orang lain. Itu karena kita sesama manusia, dan setiap manusia itu mempunya roh ilahi yang dihembuskan dan membuat kita bernyawa,” kata Gus Nadir.


Dalam salah satu hadits shahih menjelaskan bahwa ketika ada iring-iringan jenazah orang Yahudi lewat, Nabi Muhammad berdiri menghormati. Lalu, para sahabat mengatakan kepada Nabi bahwa yang lewat itu jenazah Yahudi.


“Tapi, bukankah dia manusia. Jadi, yang dilihat pertama bukan Yahudinya, tetapi manusianya. Karena itu, kita memanusiakan kembali kemanusiaan kita dan kita harus beradab,” tuturnya.


“Tidak cukup kita hanya bersikap kemanusiaan kita yang adil tapi juga harus beradab. Yang paling penting lagi adalah bahwa yang dihasilkan oleh Sunan Kudus bentuknya adalah menara merupakan sebuah simbol peradaban manusia yang kemudian harus kita hormati sebagaimana kita menghormati tradisi intelektual di belahan dunia Islam saat itu,” ujarnya.


Ia merasa bahwa benang merah yang menyatukan antara kemanusiaan yang adil dan kemanusiaan yang beradab itu adalah budaya. Tidak mungkin memiliki kemanusiaan yang adil dan tidak mungkin bisa kemanusiaan yang beradab jika menghilangkan tradisi.


“Persoalannya sekarang adalah sejauh mana perhatian pemerintah terhadap hal-hal tersebut. Termasuk menara Kudus yang menjadi simbol dari kemanusiaan yang adil dan beradab,” kata Gus Nadir.


“Mari kita suarakan kepada pihak pemerintah bahwa jika ingin melihat tonggak munculnya Islam Nusantara di Tanah Air, atau jika hendak melihat Indonesia sebagai laboratorium perdamaian dunia, melihat bahwa Indonesia sebagai contoh peradaban dunia yang adil dan beradab, maka pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab terhadap menara Kudus,” pungkasnya.