Nasional

Gus Ulil: Manusia Kini Hidup di Era Paradoks

Sel, 18 Agustus 2020 | 15:15 WIB

Gus Ulil: Manusia Kini Hidup di Era Paradoks

Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) sedang memaparkan idenya. (Foto: Tangkapan layar)

Jakarta, NU Online
Intelektual NU Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) mengungkapkan, saat ini manusia sedang hidup di era paradoks. Pasalnya, di satu sisi agama sedang diragukan. Namun, di sisi lain ia sekaligus bangkit di ruang publik.


Hal itu dikatakannya saat didaulat sebagai narasumber dalam Studium General Virtual Program Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, Selasa (18/8). Acara tersebut bertema ‘Merawat Agama di Tengah Kepungan Sains dan Modernitas’.


Gus Ulil menilai, masyarakat modern umumnya kurang nyaman dengan agama yang terorganisir, yaitu agama dengan syariat yang sangat ketat. “Masyarakat lebih suka agama yang dicirikan spiritual,” terangnya.


Saat ini, menurut dia, tasawuf sangat populer karena dianggap tidak terlalu agresif. Sehingga dianggap lebih cocok dengan gaya hidup manusia modern sebagai pengalaman personal dibanding Islam yang bersyariat ketat.


Gus Ulil juga menjelaskan, masyarakat hidup di luar konteks Eropa. Namun, tidak dapat dihindarkan dari keikutsertaan dalam peradaban pencerahan.


“Pencerahan intinya ingin meminggirkan peran-peran agama di ruang publik. Dan kita sekarang hidup dalam peradaban yang demikian,” ungkap menantu Gus Mus itu.


Namun, lanjut dia, di pihak lain juga ada fundamentalisme agama. Bahkan, muncul keraguan-keraguan terhadap agama. Munculnya keraguan terhadap agama karena Islam yang keras membuat orang berpikir ulang tentang pandangan terhadap agama ini.


Mengenai studi tentang agama, menurut Gus Ulil, di dunia barat telah menjadi fenomena sosial. Di mana dalam mempelajari agama tidak serta-merta mengimaninya. Oleh karena itu, terdapat dua sisi pandangan dalam studi agama, yaitu dari segi positif dan juga negatif.


“Positif karena orang barat yang menstudi Islam dengan agnostik, mereka mencintai Islam tanpa menjadi muslim. Ini berkat epistimologi modern yang agnostik,” jelasnya.


Sedangkan dari sisi negatifnya, ia menyebutkan karena tidak sadarnya mereka dengan epistimologi seperti ini. Bisa semula agnostik metodologi, kemudian menjadi agnostik keimanan.


Di akhir paparan, Gus Ulil menerangkan, bahwa jalan Imam al-Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah jalan di mana tetap mempertahankan keimanan sekaligus mempelajarinya secara analistik dan kritis. “Ini cara merawat iman era modern,” pungkasnya.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori