Nasional

Gus Ulil Ngaji Ihya Dadakan di Pesantren Miftahul Huda Manonjaya

Ahad, 19 Januari 2020 | 14:13 WIB

Gus Ulil Ngaji Ihya Dadakan di Pesantren Miftahul Huda Manonjaya

Santri-santri Mifftahul Huda Manonjaya saat kuliah umum kitab Ihya 'Ulumuddin (Foto: NU Online/Syakir)

Jakarta, NU Online
Pondok Pesantren Miftahul Huda Maonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat menjadi salah satu destinasi rombongan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) pada agenda Anjangsana Pesantren di Tatar Sunda pada Rabu (15/1) malam. Rombongan berangkat dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat usai isya. Tiba di tempat tujuan sekitar pukul 22.00 malam.

Sebagaimana di tempat-tempat sebelumnya, dewan pengasuh langsung mempersilakan rombongan untuk menikmati hidangan barang sesuap dua suap. Meski perut sudah penuh karena setiap tiba di pesantren selalu disuguhi makan berat, ketakziman para pengajar FIN Unusia kepada pesantren tetap dikedepankan sehingga suguhan tersebut tetap dinikmati.

Baru setelah menikmati hidangan, beberapa melanjutkan istirahat. Sebagian lagi berbincang dengan rekan-rekannya. Ada pula yang memancing ikan di empang di bawah tempat istirahat.

Usai subuhan, para pengajar FIN Unusia barulah sowan ke Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Ajengan KH Abdul Aziz Khoer Affandi. Saat berbincang, Ajengan Aziz meminta pengajar FIN Unusia untuk menyampaikan kuliah umum kepada ratusan mahasantri Ma’had Ali Miftahul Huda. Sebagaimana sebelumnya di Pondok Pesantren Al-Istiqomah Bandung, para pengajar sepakat Gus Ulil Abshar Abdalla untuk mewakili.

Pada kesempatan tersebut, Gus Ulil mengisi kuliah umum itu dengan mengaji Ihya Ulumiddin  Jilid 4. Ia mengatakan bahwa kesuksesan orang hidup diawali dengan taubat. “Intinya menyadari kesalahan. Kalau tidak merasa susah. Taubat langkah penting untuk apa saja,” ujarnya di hadapan mahasantri yang fokus mengaji bidang akidah Islam dan filsafat itu.

Penulis buku Manusia Rohani itu mencontohkan orang yang tidak merasa sakit tidak akan ke dokter. Artinya, kesadaran akan kesalahan dan penyakit diri sendiri itu sangat penting sebagai inti taubat.

Tidak cukup taubat, hal tersebut harus dilakukan secara langsung, wujub al-taubat ‘ala al-fauri. “Taubat harus dilakukan secara langsung. Sebab, terlambat membahayakan. Susah diobati kalau terlambat,” ujarnya.

Hal serupa juga penting bagi orang yang merasa ganteng, padahal tidak juga. Sebab, jika sudah merasa tidak ganteng, akan melakukan hal lain yang lebih produktif dan bermanfaat baginya dan orang lain, sedangkan yang merasa ganteng akan tersandra tenaganya untuk hal tersebut.

Kesadaran terhadap kesalahan pribadi penting. Tapi tidak ada artinya, jika tidak dilanjutkan dengan langkah untuk memperbaiki. Tetapi tanpa kesadaran, tentu tidak akan sampai pada langkah untuk memperbaiki. “Langkah pertama tergerak untuk memperbaiki. Orang yang tidak menyadari tidak akan memperbaiki,” ucapnya.

Usai membaca sebagian kitab karya Imam Ghazali itu, Gus Ulil mengijazahkan kitab tersebut kepada segenap mahasantri yang hadir.

Setelah Gus Ulil, para mahasantri juga mendapatkan pengetahuan baru dari peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir.

Selepas Gus Ulil mengisi kuliah umum, para pengajar FIN Unusia sarapan bersama. Lalu berpamitan kepada Ajengan Aziz, dilanjutkan dengan ziarah pendiri dan masyayikh Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya, Tasikmalaya. Perjalanan pun dilanjutkan menuju Syekh Panjalu di Ciamis.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi