Nasional BULAN GUS DUR

Gus Yahya: Mempelajari Gus Dur Harus Komprehensif

Ahad, 13 Desember 2020 | 15:00 WIB

Gus Yahya: Mempelajari Gus Dur Harus Komprehensif

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Perpustakaan PBNU)

Jakarta, NU Online

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur telah melampaui berbagai tahap dalam setiap peran yang dilakukannya di tengah masyarakat. Karena itu, Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa jika ingin mempelajari Gus Dur, haruslah secara komprehensif atau lengkap.


“Gus Dur adalah orang yang sejak kecil punya kesadaran tentang pentingnya berfikir untuk mencari cara soal bagaimana mengelola NKRI secara lebih baik,” ungkapnya dalam agenda Ziarah Pemikiran bertajuk Gus Dur dan Ekonomi Politik Internasional yang disiarkan langsung melalui 164 Channel, pada Ahad (13/12).


Untuk diketahui, Ziarah Pemikiran adalah salah satu rangkaian agenda dari Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2020 yang dilangsungkan selama sepuluh hari, sejak 7 hingga 16 Desember mendatang. Tunas Gusdurian akan ditutup dengan acara peringatan Haul Gus Dur ke-11.


“Karena sejak kecil Gus Dur ikut mengalami ayahandanya KH Wahid Hasyim yang sering berinteraksi dengan para pemimpin bangsa,” sambung Gus Yahya, demikian sapaan akrab kiai yang pernah menjabat sebagai Juru Bicara Kepresidenan era Gus Dur.


Kemudian Gus Dur tumbuh sebagai peneliti yang melahap berbagai sumber informasi, pengetahuan, teori sosial, ekonomi, dan politik. Semua informasi yang terserap itu, dituangkan ke dalam berbagai tulisan. “Fase itu (sebagai peneliti) sebelum menjadi Ketua Umum PBNU (tiga periode, 1984-2000),” jelas Gus Yahya.


Gus Dur sebagai Ketum PBNU


Ketika sedang menjabat sebagai Ketum PBNU, pada 1984, Gus Dur mulai masuk ke dalam fase berikutnya yakni sebagai pemimpin dari sebuah kelompok besar bernama Nahdlatul Ulama. Gus Dur harus bermanuver untuk kepentingan kelompok yang dipimpinnya itu. 


Pertama kali yang dilakukan Gus Dur pada waktu itu adalah berusaha membangun leverage (pengaruh) bagi NU agar dianggap lebih penting dan selalu diperhitungkan. Karena sebelumnya, NU dimarginalisasi oleh pemimpin totaliter Soeharto. 


“Sejak awal NU dianggap sebagai penghalang paling potensial dari kekuasaan Soeharto sehingga harus dimarginalkan supaya tidak mengganggu,” ucap Gus Yahya.


“Jadi Gus Dur melakukan manuver agar semua orang menganggap dan lebih memperhatikan NU. Gus Dur membuat semua orang butuh dan harus membantu NU agar menjadi lebih kuat,” imbuhnya.


Namun, Gus Dur tidak hanya melakukan manuver di level arena domestik atau dalam negeri saja tetapi juga pada pentas internasional. Di tangan Gus Dur, pamor NU berkembang pesat. Tak hanya itu, manuver yang dilakukan tersebut juga untuk mencari celah agar NU bisa berperan. 


“Misalnya Gus Dur membuat kesepakatan dengan kalangan bisnis, mencoba membuat jaringan bank bersama salah seorang konglomerat pada waktu itu. Gus Dur juga melakukan manuver-manuver politik untuk membuat celah-celah politik agar NU mendapat kesempatan,” jelas Gus Yahya.


Gus Yahya menjelaskan, pada sekira 1990-an Gus Dur berkenan menemani Putri Soeharto Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut) untuk keliling dalam pertemuan-pertemuan besar. Bahkan Gus Dur membuat pernyataan bahwa Mbak Tutut itu adalah pemimpin masa depan.


“Inilah yang disebut sebagai (strategi politik) zig-zag. Karena memang konstruksi realitas yang terjadi pada waktu itu, menjadikan tidak mudah untuk bergerak secara linier,” ujarnya.


Gus Dur sebagai Presiden RI


Fase berikutnya adalah Gus Dur sebagai presiden. Sebuah momentum untuk memperbaiki keadaan bangsa karena memegang kendali kuasa penuh atas republik ini. Sebagaimana yang dilakukan untuk NU sebelumnya, Gus Dur pun membangun leverage (pengaruh) di skala internasional untuk Indonesia.


“Karena pada waktu itu, Indonesia dianggap ‘buncit’. Bukan hanya di Asean, tapi di pentas Internasional Indonesia ini seperti seolah-olah tidak ada di dalam peta atau tidak diperhitungkan,” jelas Gus Yahya.


Menurutnya, dinamika ekonomi politik internasional akan sangat menentukan berbagai dinamika dalam negeri. Soal memenuhi kebutuhan, Indonesia harus terlibat dalam perdagangan dan investasi internasional. Kemudian menarik investor untuk meningkatkan perdagangan dalam negeri.


“Perdagangan dan investasi itu di dalam pentas internasional adalah fungsi politik. Sebab kita harus bersaing dengan negara-negara lain yang punya komoditas yang sama. Kita harus menembus jaringan perdagangan yang mengurangi profit. Itu yang dilakukan Gus Dur,” ungkap Gus Yahya.


Jadi, lanjutnya, Gus Dur memang harus berkeliling dunia secara intens untuk memastikan memiliki hubungan baik dengan negara lain di kancah internasional. Sebab hubungan tersebut akan sangat berdampak bagi kehidupan dan kebutuhan dalam negeri.


“Gus Dur pernah dalam waktu seminggu mengunjungi 13 negara. Saya pernah sempat mengikuti beberapa perjalanan internasional Gus Dur. Apa yang dilakukan Gus Dur adalah membangun leverage untuk Indonesia. Supaya Indonesia lebih diperhitungkan,” ujar Gus Yahya.


Apa yang dilakukan dan dijadikan modal oleh Gus Dur?


Modal pertama adalah Islam. Gus Dur membangun narasi bahwa Indonesia sebagai bangsa muslim terbesar dunia mampu memberikan sumbangan wacana tentang Islam yang bisa memperbaiki keadaan.


Sementara modal kedua adalah berbagai macam gagasan Gus Dur. Termasuk mengusulkan Forum Pasifik Barat, mengusulkan Poros Indonesia-India-China. Bahkan sebelum itu, Gus Dur berkeliling untuk mengunjungi negara-negara peserta konferensi Asia Afrika. Tujuannya untuk menarik kembali solidaritas yang pernah dibangun oleh Presiden Pertama RI Soekarno.


“Itu semua dilakukan Gus Dur agar Indonesia lebih memiliki bargaining power (kekuatan daya tawar) yang lebih besar di dalam melakukan negosiasi-negosiasi dengan pihak-pihak lain di panggung internasional,” jelas Gus Yahya.


Selain itu, Gus Dur pernah berusaha melakukan negosiasi ulang dengan pihak-pihak yang selama ini menjadi partner ekonomi Indonesia. Hal tersebut dilakukan dan diupayakan Gus Dur agar Indonesia mendapatkan posisi yang lebih baik.


Misalnya ketika Caltex (sebuah merk minyak bumi dari Chevron Corporation) meminta kepada Presiden Gus Dur untuk memperpanjang izin operasinya di Riau. Namun, perpanjangan izin itu ditolak. Kecuali jika Caltex bersedia memindahkan kantor operasi regional dari Singapura ke Indonesia.


“(Dan Caltex) bersedia melakukan transaksi-transaksi hanya dari bank-bank nasional Indonesia,” jelas Gus Yahya.


Lalu saat kontrak ekspor air ke Singapura juga hampir habis, Gus Dur menolak memperpanjang izin itu kecuali dengan harga yang lebih tinggi. Itulah upaya Gus Dur yang sangat sulit dan alot sekali. Bahkan hingga Gus Dur dilengeserkan pun memang belum berhasil.


“Saya dengar Caltex tetap mendapatkan perpanjangan setelah Gus Dur lengser, juga kontrak dengan Singapura tetap dilanjutkan setelah Gus Dur lengser,” pungkas Gus Yahya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad