Nasional

Gus Yahya: Metode Rukyatul Hilal di NU Tak Pernah Berubah

Jum, 1 April 2022 | 20:00 WIB

Gus Yahya: Metode Rukyatul Hilal di NU Tak Pernah Berubah

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf usai mengumumkan awal Ramadhan 1443 H di Gedung PBNU Jakarta, Jumat (1/4/2022). Foto: NU Online/Suwitno

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa metode Rukyatul Hilal bil fi’li atau melihat bulan secara langsung untuk menetapkan awal bulan hijriah di NU tidak pernah berubah. 


“Ini tidak pernah berubah. NU di dalam menentukan awal bulan menggunakan metode rukyah bil fi’li, langsung melihat apakah hilal sudah terbit dengan melihat ufuk secara langsung, tidak melalui hisab,” ujar Gus Yahya usai mengumumkan awal Ramadhan 1443 H, di Lantai 3 Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, Jumat (1/4/2022). 


Keputusan PBNU terkait awal Ramadhan 1443 H yang jatuh pada Ahad, 3 April 2022, ini berdasarkan laporan yang telah diterima dari 50 titik lokasi Rukyatul Hilal di seluruh Indonesia. Semua perukyat, tidak berhasil melihat hilal. 


“Jadi kita kemudian berketetapan bahwa Sya’ban ini istikmal (disempurnakan) menjadi 30 hari dan Ramadhan kita mulai lusa, 3 April 2022,” jelas Gus Yahya. 


Putra KH Cholil Bisri Rembang ini menerangkan bahwa norma-norma tersebut telah ditetapkan dalam Muktamar Ke-34 NU di Lampung pada 2021 lalu. Norma imkanur rukyah menjadi dasar untuk menerima atau menolak kesaksian tentang hasil rukyah bil fi’li itu.


Di samping itu, lanjut Gus Yahya, negara-negara ASEAN yakni Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura menyatakan bahwa batas imkanur rukyah adalah apabila bulan atau hilal terbit di atas tiga derajat.


“Jadi, ini berarti bahwa berdasarkan pertimbangan ini, dianggap bahwa di bawah 3 derajat dari ufuk, hilal tidak mungkin bisa terlihat, sehingga apabila ada kesaksian yang mengatakan melihat hilal kurang dari tiga derajat di atas ufuk, dianggap tidak bisa dijadikan pegangan walaupun boleh saja bagi mereka yang meyakini untuk tetap melaksanakannya,” jelas Gus Yahya. 


Posisi Ilmu Falak
Senada, Wakil Sekretaris Lembaga Falakiyah (LF) PBNU Ma’rufin Sudibyo menjelaskan bahwa Muktamar Ke-34 NU di Lampung telah menelurkan keputusan-keputusan mengenai posisi Ilmu Falak dalam penentuan waktu ibadah. Terdapat tiga butir keputusan yang diimplementasikan pada saat ini. 


Pertama, terkait dengan imkanur rukyat. Selama ini pelaksanaan Rukyatul Hilal memang mendasarkan pada imkanur rukyah sebagai kriteria untuk melihat apakah hilal bisa diterima laporannya atau tidak. 


“Di Muktamar dirumuskan, sepanjang imkanur rukyah itu dihasilkan dari metode yang mutawatir minimal lima metode Ilmu Falak yang qath’i, dan menghasilkan kesimpulan yang sama maka itu bisa dijadikan sebagai pedoman,” jelas Ma’rufin. 


Kedua, hukum Rukyatul Hilal adalah fardhu kifayah atau wajib komunal bersifat ta’abbudi ketika hilal menurut metode Ilmu Falak ada di atas ufuk pada saat matahari terbenam.


Ketiga, apabila menurut kelima metode falak yang qath’i itu kedudukan hilal sudah cukup tinggi. Namun, terdapat gangguan-gangguan yang menyebabkan hilal tidak terlihat, sementara jika diistikmalkan akan terjadi potensi bulan berikutnya hanya berumur 28 hari, maka istikmal bisa dinafikan.


“Jadi ketiga putusan tersebut akan kami sosialisasikan sepanjang masa khidmah LF PBNU saat ini dan menjadi panduan dari Rukyatul Hilal ini,” jelasnya.


Ma’rufin juga menyebutkan, metode Rukyatul Hilal di Indonesia ini dipedomani oleh 67 persen umat Islam di Indonesia atau setara dengan 160 juta orang dari populasi Indonesia. Jumlah itu lebih besar daripada Nahdliyin yang berkisar pada 90-100 juta jiwa.


“Kita melaksanakan Rukyatul Hilal ini adalah melaksanakan bagian yang sangat ditunggu oleh banyak pihak,” kata Ma’rufin.


Sampai hari ini, PBNU tetap berpedoman bahwa penentuan awal hijriah dilaksanakan dengan cara Rukyatul Hilal sebagai sebuah metode. Namun, jumlah hari dalam bulan hijriyah sudah ditetapkan bahwa hanya akan berumur 29 atau 30 hari.


“Kita akan menghindarkan sejauh mungkin supaya tidak terjadi bulan hijriah yang umurnya 28 hari atau 31 hari. Metode Rukyatul Hilal ini tetap dipedomani karena sangat banyak rujukannya dan memiliki kekuatan dalil paling kuat. Tetapi Rukyatul Hilal pada saat ini tetap mengacu pada dinamika gerak bulan,” pungkas Ma’rufin.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Musthofa Asrori