Nasional

Gusdurian Dorong Konsep Pribumisasi Islam Jadi Strategi Gerakan Masyarakat

Sab, 19 Desember 2020 | 05:30 WIB

Gusdurian Dorong Konsep Pribumisasi Islam Jadi Strategi Gerakan Masyarakat

Logo Gusdurian. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Pribumisasi Islam adalah salah satu dari sembilan poin rekomendasi Gusdurian untuk Indonesia yang dikeluarkan setelah menggelar pertemuan selama sepuluh hari secara virtual. Sebuah istilah yang pernah dicetuskan oleh Gus Dur. Rekomendasi mengenai Pribumisasi Islam itu terdapat pada poin kelima. 
 
“Mendorong konsep Pribumisasi Islam sebagai metodologi pemikiran dan strategi gerakan masyarakat untuk mewujudkan Indonesia berketuhanan, berkemanusiaan, bermartabat, dan berkeadilan. Untuk itu, perlu disosialisasikan pandangan Pribumisasi Islam tentang manusia sebagai subjek dan objek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” demikian bunyi poin kelima dari rekomendasi Gusdurian untuk Indonesia. 
 
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim yang menjadi salah seorang perumus rekomendasi Gusdurian itu menjelaskan, Pribumisasi Islam adalah cara Gus Dur untuk menarik perhatian orang ke isu besar yang sebenarnya sudah sejak lama terjadi di Indonesia. 
 
“Pribumisasi Islam yaitu untuk menjadikan Islam punya konteks lokal yang kuat di Indonesia. Ini risiko ketika agama datang dari tempat yang berbeda, dan punya asal-muasal yang berbeda dari tempat kita berkembang sekarang,” jelasnya dalam sebuah program galawicara yang ditayangkan langsung melalui Kanal Youtube TV9 Official, Sabtu (19/12) pagi.
 
“Nah Pribumisasi Islam (adalah) cara Gus Dur untuk mengingatkan bahwa penerapan dan pengembangan nilai-nilai keagamaan harus disesuaikan dengan konteks lokal. Tidak perlu bertentangan. Sesederhana itu sebenarnya,” lanjut Gaffar.
 
Saat ditanya hal apa yang mendasari rekomendasi Pribumisasi Islam itu, Gaffar menjawab karena menguatnya penggunaan simbol-simbol identitas yang sangat tidak Indonesia. Secara konkret, Gaffar menilai bahwa nuansa arabisasi sangat berlebihan dan menganggap sebagai esensi keislaman.
 
“Padahal keindonesiaan pun bisa menjadi esensi keislaman dalam praktiknya. Itulah yang membuat kami untuk menekankan poin Pribumisasi Islam dalam rekomendasi,” tutur Gaffar.
 
Menurut akademisi asal Sumenep, Madura, Jawa Timur ini, Islam Indonesia memang pasti bernuansa Arab. Sebab kitab suci dan transmisi ilmu pengetahuan Islam pun menggunakan berbahasa Arab. Namun itu hanya alat untuk memahami esensi Islam.
 
“Jadi nuansa arab itu bukan identitas inti keislaman. Itu hanya alat saja untuk memahami Islam,” ungkapnya.
 
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menjelaskan bahwa Pribumisasi Islam adalah sebuah metodologi, cara, dan model agar nilai-nilai dasar ajaran Islam bisa dimasukkan ke dalam konteks di mana pun seseorang berada. 
 
“Jadi, Pribumisasi Islam bisa berlaku di Indonesia dan juga bisa berlaku di Irlandia, di Kanada. Nilai-nilai Islam bisa dibawa dan ekspresinya dapat disesuaikan. Jadi nilainya itu yang penting,” jelas Alissa. 
 
Ia mencontohkan, Pribumisasi Islam itu sama dengan akulturasi budaya. Salah satunya adalah selametan. Bagi warga masyarakat Indonesia, selametan tidak harus bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Di dalam acara selametan, terdapat tumpeng tapi diisi dengan doa, munajat, dan bermuhasabah.
 
“Semua itu (dalam acara selametan) dilakukan dengan nilai-nilai keislaman. Tapi ekspresinya sangat lokal di Indonesia. Apakah ajaran agama bisa digunakan untuk membingkai kebudayaan tesebut? Kalau bisa ya kita digunakan. Itulah Pribumisasi Islam,” katanya.
 
Contoh lain, kata Alissa, adalah berkopiah dan bersarung. Gaya berbusana seperti itu hanya ada di Indonesia dan tidak ada pada masa Nabi Muhammad ketika masih hidup. Oleh karena itu, Pribumisasi Islam harus senantiasa didorong untuk dilakukan dan diseimbangkan.
 
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syamsul Arifin