Opini

Moderasi Beragama: Islam sebagai Etika Sosial

Rab, 16 Desember 2020 | 06:00 WIB

Moderasi Beragama: Islam sebagai Etika Sosial

Ilustrasi Islam sebagai etika sosial dalam moderasi beragama. (NU Online)

Radikalisme atas nama agama masih mengakar kuat di Bumi Pertiwi. Terbukti masih adanya terorisme di Indonesia, seperti peristiwa yang terjadi di Sigi, Sulawesi Tengah pada bulan lalu. Hal ini sekaligus menunjukkan pandangan dan praktik keagamaan yang moderat masih belum mewujud. Pasalnya, kepercayaan atas kebenaran yang diyakininya masih diiringi dengan penyalahan terhadap paham yang berbeda dengannya. Demikian ini mengindikasikan betapa nilai-nilai Islam sebagai sebuah jalan etika, bukan kelembagaan, itu memang masih rendah.


Pasalnya, Buku Moderasi Beragama yang disusun Kementerian Agama mencatat bahwa ada empat indikator moderasi beragama yaitu (1) komitmen kebangsaan, (2) toleransi, (3) anti-kekerasan, dan (4) akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Upaya pemenuhan empat indikator ini dapat ditempuh melalui pengarusutamaan Islam sebagai etika sosial. Sebab, jalan inilah yang harus ditempuh guna Islam tidak hanya berada dalam wacana, tetapi juga teraktualisasikan dalam praktiknya.


Bangsa Indonesia sudah menentukan negaranya sebagai republik dengan dasar Pancasila. Kesepakatan seluruh pendiri bangsa ini sudah tidak dapat diganggu gugat. Sebab, kesepakatan ini yang sudah turun menjadi produk hukum, politik, ekonomi hingga kebudayaannya merupakan jalan tengah di antara dua kutub sekular dan agama. Komitmen kita terhadap pandangan ini menjadi penting sebagai wujud moderatisme. Tidak ada lagi upaya untuk mengubah-ubahnya dalam bentuk lain. Hal demikian bisa dianggap sebagai bentuk pembangkangan atau pemberontakan dalam arti bughat yang harus dilawan. Saat ini, kesempatan kita adalah memperkuat negara ini.


Sebagaimana diketahui bersama, warna-warni pandangan terhadap suatu hal memang lumrah terjadi, tak terkecuali dalam bidang keagamaan. Bukan saja berbeda dalam arti tidak sama, tetapi tak jarang beragam pandangan tersebut saling berseberangan satu sama lain. Hal ini memang kerap membingungkan masyarakat di satu sisi, tetapi memberikan banyak pilihan di sisi lain sehingga bisa berdampak kemudahan dalam beragama.


Dalam berbagai literatur fiqih, kita mengenal qaul yang lebih kuat (rajih) mengingat ulama yang mengeluarkan pandangan tersebut lebih banyak secara kuantitasnya atau lebih otoritatif. Namun, hal ini tidak memberikan jaminan terbaik sehingga konteks, baik waktu dan tempat, sangat berpengaruh terhadap pilihan pandangan keagamaan. Di sinilah unsur penting dalam pandangan keagamaan yang moderat, yakni tidak lepas dari unsur lokalitas dengan tetap mengonfirmasinya dengan teks nash.


Bagi pemeluk agama yang radikal, salah satu di antara keduanya, konteks dan teks, akan diabaikan. Mereka yang konservatif tentu akan fokus terhadap teks yang diyakini kebenarannya, sedangkan mereka yang liberal akan mengabaikan teks demi konteksnya. Kita yang meyakini Islam moderat tentu dapat menyatukan keduanya dalam satu tarikan napas, dalam satu praktik keagamaan.


Oleh karena itu, perlu ditegaskan kembali bahwa aqidah yang diyakini memang sudah final. Akan tetapi, perbedaan pandangan dalam praktiknya, tentu bukan persoalan yang berarti. Quraish Shihab dalam bukunya, Yang Hilang dari Kita: Akhlak, mengutip semboyan seorang ulama moderat, “Kita bersatu dalam akidah dan bertoleransi dalam khilafiyah/furu’iyah.”


Pilihan terhadap satu pandangan keagamaan tidak serta-merta memandang pendapat lain sebagai sesuatu yang salah. Ini yang tidak bisa dibenarkan mengingat perbedaan pandangan di tengah umat merupakan rahmat. Imam Syafi’i meyakini qunut adalah laku sunah dalam shalat Subuh. Namun ia tak melakukannya saat berada di kota Imam Abu Hanifah yang memiliki pandangan berbeda dengannya. Laku demikian menunjukkan toleransi tertinggi dalam praktik keagamaan. Toleransi tidak saja praktik menghargai perbedaan agama, tetapi juga ketidaksamaan pandangan dalam keyakinan yang sama.


Hal lain yang menjadi indikator moderasi agama adalah antikekerasan. Lebih dari sekadar antikekerasan, kita sebetulnya harus melakukan hal-hal yang baik, sekecil apapun. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 83, ... wa qulu linnasi husna..., berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik. Dalam arti, mengutip Syekh Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid, kita harus membicarakan atau melakukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain.


Pengalaman Indonesia dan Contoh Islam sebagai Etika Sosial


Buku Moderasi Beragama yang disusun Kementerian Agama menyebutkan setidaknya ada tiga prinsip dasar negara yang memungkinkan pertumbuhan watak moderat masyarakat di dalamnya. Pertama, Indonesia bukan negara sekular, bukan negara teokratis atau agama, tetapi negara kebangsaan yang berketuhanan atau beragama. Di sini menunjukkan bahwa Indonesia mengambil jalan tengah di antara dua jenis negara. Hal demikian juga menandai bahwa moderat memang kerap dipandang berbeda dari umum. Tetapi justru hal tersebutlah yang pada praktiknya yang terbaik mengingat di situlah titik temu di antara tarik-menarik dua kutub yang berseberangan.


Jalan tengah menjadi solusi yang pas dan tepat untuk menghindari egoisme masing-masing. Sebab, mempertahankan ego dengan mengabaikan yang lain tentu saja tidak bisa dibenarkan secara etika sosial. Kita harus mendapatkan win-win solution, saling mendapatkan untung satu sama lain, tidak ada yang rugi, terlebih dalam urusan kebangsaan. Perdamaian menjadi hal mutlak yang harus dijaga. Jika ego masing-masing tetap dipertahankan,bagian timur Indonesia bukanlah bagian dari negara ini mengingat adanya desakan untuk mengubah poin pertama Pancasila yang pada akhirnya diterima demi keutuhan negara.


Selain itu, negara berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan kebebasan beragama yang lapang dan bertanggung jawab serta melindungi kebinekaan atau keragaman dalam agama. Sebagai negara yang multikultural, Indonesia mempersilakan warganya menganut agama atau kepercayaan yang diyakininya, melakukan peribadatan. Namun, hal ini kerap berbenturan dengan kehendak masyarakat lain yang tidak menginginkan mereka untuk tinggal bersama.


Dalam hal ini, tidak saja negara yang harus melakukan itu, masyarakat secara umum juga memiliki tanggung jawab yang sama. Toh, mereka ini sesama manusia dan sesama warga negara Indonesia yang memiliki hak sama sehingga tidak dibenarkan untuk melakukan pelarangan atau menghalangi pemenuhan hak mereka.

 

Islam sebagai etika sosial menekankan hal ini. KH Said Aqil Siroj, dalam Rekonstruksi Aswaja sebagai Etika Sosial, menyatakan bahwa ada yang lebih penting dari sekadar pengharaman atas minuman keras, yaitu perhatian terhadap problem-problem kemanusiaan, seperti ketidakadilan, kezaliman, ketimpangan sosial, hingga penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Dengan paradigma ini, kehendak memaksa untuk menghalangi mereka yang berbeda tidak lagi terpikirkan, sebab kita disibukkan untuk mengatasi problematika yang lebih kompleks.


Oleh karena itu, Islam sebagai etika sosial perlu diarusutamakan untuk mewujudkan masyarakat yang moderat dalam beragama dan berbangsa. Sebab, selama ini masyarakat kita masih fokus terhadap doktrin yang hanya mengajarkan dikotomi hitam putih, benar salah, dan semacamnya. Etika sosial tidak menghendaki hal tersebut, melainkan kemaslahatan bersama demi hidup yang lebih baik.


Muhammad Syakir NF, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)


*) Artikel ini terbit atas kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI