Nasional

Habib Husein Jafar: Bela Palestina Wujud Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah, dan Insaniyah

Jum, 28 Mei 2021 | 07:00 WIB

Habib Husein Jafar: Bela Palestina Wujud Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah, dan Insaniyah

Habib Husein Ja'far Al-Hadar. (Foto: Instagram/@husein_hadar)

Jakarta, NU Online

Pendakwah Habib Husein Jafar Al-Hadar menegaskan bahwa membela Palestina adalah wujud atau ekspresi pengejawantahan dari ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan).


Ia menjelaskan, Nabi Muhammad pernah menyebut umat Islam seperti satu tubuh. Jika kaki terluka maka mata akan otomatis menangis. Lebih jauh, Habib Husein bertutur bahwa membela Palestina adalah output dari shalat berjamaah yang dilakukan umat Islam setiap hari.


“Palestina adalah ekspresi ukhuwah Islamiyah kita. Kita sedang diuji sebagai umat Islam. Apakah kita akan ber-ukhuwah dan bersatu-padu untuk menyatukan barisan melawan penjajahan Israel atas Palestina? Inilah ekspresi atau output dari shalat berjamaah kita setiap hari,” katanya dalam webinar bertajuk Membasuh Luka Palestina di TVNU, Kamis (27/5) kemarin.


“Kalau kita masih disibukkan oleh saling caci maki satu sama lain, maka Israel bukan hanya tidak akan hancur, tapi Israel masih ada dalam diri kita. Diri kita yang saling mencaci satu sama lain,” imbuh Penulis buku Anakku Dibunuh Israel: Legenda Imad Mugniyah, ‘Che Guevara’ Timur Tengah (2008) ini.


Selain itu, ia mengingatkan pula bahwa luka yang dialami rakyat Palestina juga menjadi luka bagi orang-orang Indonesia, apa pun agamanya. Sebab kemerdekaan negeri ini dibantu oleh Palestina. 


“Kita juga sudah berjanji pada pembukaan UUD 1945 bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan dan perdamaian yang abadi harus diwujudkan. Karena itu, Palestina adalah ujian bagi ukhuwah wathaniyah kita sebagai sesama orang Indonesia. Kita harus bersatu-padu untuk melawan Israel dan memerdekakan Palestina,” tegas pria yang didaulat oleh warganet sebagai Imam Besar Pemuda Tersesat ini. 


Di samping itu, penderitaan yang didera warga Palestina juga menjadi luka bagi seluruh umat manusia apa pun agama, bangsa, dan negaranya. Sebab, Habib Husein mengutip pernyataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, siapa pun yang bukan saudara dalam agama maka dia adalah saudara dalam kemanusiaan.


“Tidak perlu melihat apa agamanya, bahkan tidak perlu menjadi orang beragama untuk membela Palestina. Cukup menjadi manusia, kita akan terpanggil untuk membela Palestina,” ungkap pria bergelar Magister Tafsir Hadits dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini. 


Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari belenggu penjajahan dan penjarahan yang dilakukan Israel merupakan ekspresi dari persaudaraan sesama umat manusia. “Karena Palestina adalah tragedi terbesar dan paling mengerikan dalam abad ini,” katanya. 


Ditegaskan, tidak ada agama yang melegalkan dan mengajarkan pencurian dengan menggunakan kekerasan sebagaimana yang terjadi di Palestina. Sebab semua agama pasti mengajarkan untuk saling mengasihi, mencintai, dan melindungi satu sama lain.


“Oleh karena itu, Israel sebagai proyek zionisme ditolak pertama kali oleh justru Yahudi ortodoks sendiri pada 1938 di Yerusalem, dengan berdirinya organisasi Yahudi ortodoks bernama Neturei Karta dengan slogan Yahudi bersatu melawan zionisme,” terangnya.


Dalam catatan NU Online, disebutkan bahwa Neturei Karta adalah kelompok Yahudi yang menolak pendirian Negara Israel. Organisasi Yahudi Ortodoks ini didirikan oleh Rabbi Amram Blau dan Rabbi Aharon Katzenelbogen pada 1938 di Yerusalem.


Neturei Karta sangat getol menolak eksistensi dan menyerukan pembubaran Negara Israel. Alasannya, mereka memiliki keyakinan bahwa umat Yahudi baru boleh mendirikan negara kalau Sang Juru Selamat atau Mesias sudah datang di dunia ini.


Lebih dari itu, Habib Husein juga menyebut Rachel Corrie, seorang remaja Amerika keturunan Yahudi yang pada 16 Maret 2003 dalam usia 23 tahun, harus mati karena menghalangi buldoser Israel yang akan menghancurkan rumah milik rakyat Palestina di jalur Gaza. 


“Jadi pertama yang ditentang dan dilawan oleh zionisme adalah agama mereka sendiri yakni Yahudi. Karena itu, kita berdiri di atas semua agama untuk melawan Israel,” tegas Habib Husein. 


Ia menjelaskan, ibu dari Rachel Corrie pun kemudian menggugat atas terbunuhnya sang anak karena membela Palestina. Sang ibu tidak peduli kalah atau menang, tetapi hanya berkeinginan untuk mengabarkan kepada dunia bahwa anaknya telah dibunuh Israel. 


“Karena itu, mari jangan sia-siakan darah dan nyawa anak saya dengan kita bersatu-padu melawan Israel. Meskipun dia kalah,” kata ibu Rachel Corrie, dibahasakan kembali oleh Habib Husein.


Sejak kematiannya, Corrie telah menjadi ikon global solidaritas dunia untuk Palestina, sebagaimana dilansir dari Anadolu Agency. Ia lahir pada 10 April 1979 di Olympia, Washington.


Pada 2003, Corrie pergi ke jalur Gaza sebagai anggota organisasi Gerakan Solidaritas Internasional dan mendedikasikan dirinya untuk membela hak-hak rakyat Palestina. Pada 16 Maret 2003, di kota Rafah di selatan Gaza, Corrie berdiri di depan buldoser Israel, mencoba menghentikan buldoser yang akan menghancurkan rumah seorang warga Palestina.


Masyarakat Gaza menerima kabar tentang hal tersebut dengan sangat sedih dan menjuluki sebagai martir. Kemudian diadakan pemakaman besar-besaran untuk aktivis Amerika itu. Sejak itu, nama Rachel Corrie disamakan dengan segala yang terkait dengan Palestina.


Nama Rachel Corrie dipilih sebagai nama sebuah kapal bantuan Irlandia yang pergi ke Gaza pada 2010. Kisahnya juga telah disampaikan dalam beberapa film dokumenter yang mengisahkan penderitaan masyarakat Palestina.


Keluarga Rachel Corrie menuntut otoritas Palestina terkait kematian Rachel Corrie. Namun, pengadilan Israel membebaskan pengemudi buldoser dalam sebuah keputusan yang kontroversial dan dikecam oleh kelompok hak asasi manusia.


“Tidak ada jumlah pembacaan, kehadiran dalam konferensi, tayangan dokumenter dan kata yang keluar dari bibir ini dapat mempersiapkanku dari realitas kondisi disini. Kamu tidak dapat membayangkannya, kecuali melihatnya sendiri,” kata Corrie dalam tulisannya di sebuah surat yang dikirimkan kepada keluarga dari Gaza, tepat sebelum ia terbunuh. Corrie mendeskripsikan penderitaan masyarakat Palestina yang dilihatnya secara langsung.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad