Nasional

Hindari Memberi Nasihat Orang Positif Covid-19 jika Tak Diminta

Rab, 21 Oktober 2020 | 02:00 WIB

Hindari Memberi Nasihat Orang Positif Covid-19 jika Tak Diminta

Salah satu ruang pewarawatan pasien Covid-19. (Foto: Laely)

Jakarta, NU Online

Memiliki teman yang dinyatakan positif Covid-19 tak jarang segera menimbulkan rasa prihatin atau simpati. Tapi seberapa jauhkah kita menunjukkan simpati? 

 

Nur Laeliyatul Masruroh, seorang jurnalis yang pernah terkonfirmasi positif Covid-19 menceritakan pengalamannya saat menjalani perawatan dan karantina di rumah sakit. Sejak hari pertama dirinya diketahui terkonfirmasi positif Covid-19, bermacam pesan masuk ke chat pribadinya. Saking banyaknya pesan ini, sering tidak ia baca. Selain itu, pesan-pesan tersebut terkadang malah bikin perasaannya runyam.

 

"Misal, ada yang bertanya, apa kabar hari ini? Kujawab ringkas, Alhamdulillah membaik. Besoknya tanya lagi, loh katanya kemarin membaik, kok sekarang bisa menurun," tulis Laely dalam unggahan media sosial facebook-nya.

 

Perempuan yang rajin membagikan pengalamannya selama masa perawatan Covid-19 ini menceritakan, ia sering menerima pesan-pesan dengan bermacam nasihat yang sebetulnya tidak diminta. Jika tak mengalami sendiri atau tak pernah menangani pasien Covid-19 langsung, menurutnya tidak perlu memberi nasihat macam-macam. Apalagi yang memberi nasihat bukan dokter atau tak paham medis dan psikis, dan tidak punya kapasitas memadai tentang Covid-19.

 

"Biasanya memang bukan orang dekat. Kalau orang terdekat atau sahabat, tentu tak demikian," tulis Laely.

 

Karena itu, ia memohon maaf karena banyak pesan belum dijawab atau lambat respons. Dia percaya niat baik teman-temannya yang peduli pada keadaannya. Karena itu, ia membagikan tulisan secara terbuka biar tidak bolak-balik menjawab. 

 

Kecemasan adalah kewajaran

Bagi orang yang positif Covid-19 sendiri, menurut Laely wajar jika merasa cemas, seperti ia pun mengalaminya. Apalagi Laely penyintas anxiety disorder atau gangguan kecemasan, atau cemas di atas rata-rata. Berulangkali, akunya, dia mengalami panic attack. Saat baru di ruang isolasi RS sendirian, kecemasannya naik.

 

"Saat panik melanda, aku buka jendela lantai tiga, lihat ke bawah, ada perasaan takut tiba-tiba nyemplung. Ini khas panic attack. Bukan depresi ingin mati, justru khawatir melakukan hal tak terkontrol yang menyebabkan kematian diri," bebernya.


Laley pun menyampaikan kepada perawat bahwa dia cemas tinggi. Dokter datang, bilang akan memberiku obat psikotropika untuk menenangkan. Ketika obat datang pada hari berikutnya, tidak dia minum karena baginya efek samping obat itu lebih besar dibanding manfaatnya. Karena itu ia sempat debat dengan dokter. 

 

Dia memahami penjelasan dokter. Kalau cemas naik, imun bisa turun dan malah tak sembuh-sembuh. Karena itu diberi obat penenang. Sedangkan, Laely merasa lebih tahu kondisi batinnya. Lebih takut efek samping obat penenang tersebut daripada menghadapi kecemasan dalam diri. Terutama efek samping obat yang bisa menyebabkan ide bunuh diri. 

 

Usai dokter menyampaikan soal obat penenang, sejumlah perawat masuk bilang akan memindahkannya ke lantai lima. Dia makin cemas. Dia tidak mau pindah. Perawat tidak menjelaskan bahwa di kamar atas lebih bagus dan lebih bersih. Laely berasumsi kamar baru serupa kamar sebelumnya yang terlalu luas, sunyi, banyak instalasi berdebu, dan ada bekas-bekas noda di rangka ranjang.

 

"Aku sampaikan mau bicara dengan manajemen RS. Sampai aku mempertahankan meja, tidak mau ganti. Meja itu telah kubersihkan dengan penuh perjuangan, saat badan greges dan tangan diinfus. Aku khawatir meja baru ada bekas droplet pasien sebelumnya. Akhirnya mejanya pun dibawa naik. Drama banget saat itu. Salut, para perawat yang sabar," kisahnya.

 

Seorang petugas Dinkes menghubungi Laely bertanya soal data keluarga. Pas diangkat, tepat ketika Laely menangis di RS. Sebenarnya, tutur Laely, dia tak tahu apa yang ditangisi. Air mata mengalir begitu saja tiap jelang sore. 


Petugas menanyakan apakah Laely menangis karena memikirkan anak-anak di rumah. Laley menjawab di tidak mempunyai. Lalu petugas bertana Laely kerja di mana. Tahu Laely aktivis LSM, petugas menimpali bahwa orang LSM itu biasanya tangguh. Menghadapi seperti ini lebih kuat. Laley memahami itu.

 

Laley lalu mengatakan kepada petugas bahwa dia tidak selemah yang dipikirkan. Laely bukan menangisi takut menghadapi kematian atau wabah ini. Ini lebih karena panic attack yang kambuh. Kecemasan muncul begitu saja tak terkendali.

 

"Dia menyarankan untuk rukyah. Hah? Aku hargai masukannya. Setelah itu, sekian hari tak kujawab pesannya. Lebih karena lupa," lanjutnya.

 

Kemudian Laely semakin menyadari bahwa dirinya lebih nyaman berbicara dengan sahabat dekat, yang bahkan memberikan saran jika akan menangis, ya menangis saja. Tidak usah terlalu berat memikirkan sebenarnya menangisi apa. Pikirannya barangkali berusaha rasional, tidak ada yang perlu dicemaskan.

 

"Tapi, perasaanku sebenarnya sedih. Aku barangkali mencemaskan risiko hal-hal yang melemahkan tubuh. Bukan kematian itu sendiri. Saat di RS, kondisi darahku agak kental, ini sebenarnya bahaya tersendiri, bisa merusak organ tubuh," kisahnya.

Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Fathoni Ahmad