Nasional

Hubungan Agama dan Negara: Simbiosis Mutualisme, Mengimbangi, dan Mengontrol

Sel, 31 Mei 2022 | 15:30 WIB

Hubungan Agama dan Negara: Simbiosis Mutualisme, Mengimbangi, dan Mengontrol

Lukman Hakim Saifuddin (Foto: Kemenag)

Jakarta, NU Online
Agama dan negara memiliki ikatan yang sangat erat, bahkan saling membutuhkan satu sama lain. negara membutuhkan agama. Negara membutuhkan nilai-nilai yang bersumber dari agama karena warga negaranya sangat agamis. 


“Maka negara tidak bisa berjalan tanpa acuan, tanpa pedoman, tanpa panduan nilai-nilai agama. Jadi, negara membutuhkan agama,” kata Lukman Hakim Saifuddin saat menyampaikan pidato ilmiah pada penerimaan anugerah gelar doktor kehormatannya pada bidang pengkajian Islam, peminatan mdoerasi beragama, dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa (31/5/2022).


Di samping itu, agama juga membutuhkan negara. Sebab, nilai-nilai kebajikan itu, nilai-nilai moral yang bersumberkan dari agama selain memerlukan proteksi jaminan perlindungan, tetapi juga membutuhkan fasilitasi. “Negara memposisikan dua kebutuhan itu, proteksi dan perlindungan,” kata Menteri Agama 2014-2019 itu.

 

Karenanya, dalam konteks Indonesia, agama dan negara memiliki hubungan yang khusus, yakni seperti dua sisi mata uang. Meskipun berbeda, tetapi tidak bisa dipisahkan di antara keduanya.


“Indonesia adalah negara yang memposisikan agama sebagai sesuatu yang meskipun bisa dibedakan antara negara dan agama, tetapi kedua hal ini tidak bisa dipisah-pisahkan. Ibarat sekeping uang logam yang memiliki dua sisi, maka negara dan agama, meskipun bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan,” jelas Lukman.


Sementara relasi agama dan negara secara umum terpolakan pada dua. Pertama, negara dan agama yang menyatu menjadi satu , seperti yang diterapkan Arab Saudi, Pakistan, Iran, ataupun Vatikan. Negara-negara tersebut didasarkan pada agama tertentu. “Ini satu pola dalam konteks relasi agama dan negara,” ujarnya.

 

Sementara pola kedua, ada pemisahan antara agama dan negara yang dikenal dengan konsep sekular. “Negara sama sekali tidak mengurus hal ihwal keagamaan warga negaranya. Amerika, Inggris, banyak negara Eropa, Jepang, Korea dan banyak lainnya yang menerapkan pola relasi demikian,” katanya.


Selain simbiosis mutualisme, relasi agama dan negara juga bersifat saling mengimbangi dan mengontrol. Negara melalui para penyelenggara perlu dikontrol oleh nilai-nilai agama, melalui para tokoh dan pemuka agamanya.


“Ini negara berketuhanan yang masyarakatnya agamis sehingga penyelenggara negara perlu kontrol, perlu pemantauan terkait dengan nilai-nilai agama,” jelas pria kelahiran Jakarta, 25 November 1962 itu.


Sebaliknya, agama melalui tokoh dan pemuka agama juga, menurutnya, perlu dikontrol oleh negara melalui penyelenggara negaranya. Dengan begitu, diharapkan tidak sampai terjadi praktik mayoritarianisme. “Yang merasa mayoritas dari sisi pemeluk agama bersikap semena-mena atau sewenang-wenang, merugikan minoritas dari sisi pemeluk agama,” jelasnya.


“Maka saling mengimbangi dan saling mengontrol inilah menjadi sesuatu yang khas di Indonesia,” pungkas putra bungsu KH Saifuddin Zuhri itu.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi