Nasional

Imam Aziz: Negara Wajib Fasilitasi Riset Agar Benih Lobster Bisa Dibudidayakan

Jum, 24 Juli 2020 | 01:45 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Imam Aziz mengatakan, perlu riset dan fasilitas negara yang cukup supaya benih lobster bisa dikembangkan dan dibudidayakan. Selain itu, supaya tercapai bobot dan kualitas yang ideal.


Penegasan tersebut ia sampaikan saat berbicara dalam bahtsul masail yang diinisiasi Lembaga Bahtsul Masail PBNU. Acara bertema ‘Telaah Kebijakan Ekspor Benih Lobster’ yang digelar melalui Zoom Meeting itu disiarkan langsung di YouTube Channel, Kamis (23/7).


“Dan ini, saya kira tidak bisa dilepaskan atau dibiarkan begitu saja. Sebab, benih yang dilepaskan di laut itu juga belum tentu bisa hidup sempurna. Bibit-bibit seukuran lidi ini tentu sangat lemah hidupnya,” ujar Imam Aziz.


Pria asal Pati ini dengan berkelakar mengaku belum pernah seumur hidupnya menikmati lobster. Mungkin banyak juga di antara masyarakat Indonesia yang belum pernah melihat makhluk bernama lobster itu. Oleh karenanya, ia pun mencari informasi tentang lobster di Vietnam. Apalagi benihnya disebut-sebut berasal dari Indonesia.


“Video 12 menit tentang lobster di Vietnam ini sangat menarik. Saya sangat iri melihatnya. Di sana, lobster merupakan menu kaki lima (street food). Jadi, biasa sekali mereka makan lobster dengan ukurannya yang besar. Padahal Vietnam itu negara kecil dengan laut yang sempit. Beda dengan kita,” selorohnya.


“Jadi, ini ada semacam ketidakadilan dalam relasi kita dengan alam, dan dengan orang-orang yang hidup di laut. Konon, kita merupakan anak cucu para pelaut. Nenek moyang kita kan pelaut. Sayangnya kita jarang menikmati menu dari laut,” sambungnya.


Kebijakan Bertolak belakang

Pria yang juga menjabat salah satu Staf Khusus Wakil Presiden ini menggarisbawahi soal dua peraturan menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan yang kontras. Dua Permen itu, kata Imam Aziz, bertolak belakang. Pertama, Permen No 56 tahun 2016 tentang larangan penangkapan dan ekspor lobster, kepiting, dan rajungan. Kedua, Permen KKP yang baru yang meloloskan penangkapan benih lobster sekaligus ekspor ke mancanegara.


“Jadi, ini dua peraturan yang sangat bertolak belakang. Yang satu, betul-betul menutup peluang ekspor lobster, terutama benihnya, dengan alasan ekologi. Sementara yang kedua memperbolehkan dengan alasan ekonomi,” paparnya.


Meski dalam permen sebelumnya, lanjut dia, boleh dilakukan ekspor jika sudah mencapai ukuran 200 gram per ekor. “Nah, sekarang benih lobster yang baru sebesar lidi dengan harga 100 ribu per ekor sudah bisa diekspor. Sudah tentu ini dengan alasan masing-masing,” ujar Imam Aziz.


Menurut dia, dua sudut pandang itu mestinya dicarikan titik temu melalui perspektif yang bisa menyelamatkan baik secara ekologi maupun ekonomi. Dari sisi ekologi penting sekali diperhatikan. Sebab, ini merupakan biota laut yang langka dan cukup sulit untuk berkembang.


“Oleh karena itu, perlu ada upaya preservasi untuk menjaga keberlanjutannya. Ini saya kira tercermin sekali dalam Permen 2016. Nah, problem-nya ada kritikan dari nelayan juga, misalnya di NTB. Kalau kita tidak bisa jual bibitnya, sementara kita juga tidak bisa membudidayakannya,” ungkap Imam Aziz.


Ia menambahkan, beberapa ahli kelautan dan perikanan banyak yang masih menyayangkan karena kedua perspektif peraturan tersebut belum bisa melahirkan kesejahteraan. Menurut para peneliti, benih yang dilepaskan di laut itu tingkat kehidupannya sangat kecil.


“Tentu saja ini tidak bisa melakukan by pass dengan cara misalnya, ya sudahlah karena tidak bisa membesarkannya, lalu diambil yang kecil-kecil itu untuk diekspor bibitnya, toh juga mendapatkan uang. Dan nelayannya juga sedikit sejahtera,” pungkas Imam.


Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Muhammad Faizin