Nasional

Imbauan Ning Alissa untuk Warga NU di Pemilu 2024: Hindari Ajakan Kebencian, Lihat Rekam Jejak Politisi

Kam, 18 Mei 2023 | 17:00 WIB

Imbauan Ning Alissa untuk Warga NU di Pemilu 2024: Hindari Ajakan Kebencian, Lihat Rekam Jejak Politisi

Ketua PBNU, Hj Alissa Qotrunnada Munawaroh (Foto: dok NU Online)

Jakarta, NU Online

Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024, warga Nahdlatul Ulama (NU) diimbau untuk tidak mengikuti ajakan kebencian dan melihat rekam jejak politisi, sebelum menentukan pilihan. 


Imbauan tersebut diungkapkan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hj Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid untuk seluruh warga NU se-Indonesia, agar mampu menentukan pilihan dengan baik dan menghindari politik identitas pada Pemilu 2024 mendatang.


"Jangan ikut ajakan kebencian yang dilontarkan, terutama oleh politisi. Itu penting banget, karena para politisi itu sedang menjual dirinya sendiri.  Kalau ada politisi yang menjelekkan kandidat-kandidat lain, kita harus lari dari politisi itu," kata Alissa kepada NU Online, Kamis (18/5/2023). 


Alissa menyerukan kepada warga NU untuk memilih politisi yang bicara soal kepentingan warga dan punya rekam jejak untuk damai atau bukan politisi yang suka membuat keributan.  


Ia juga mewanti-wanti agar warga NU meningkatkan kewaspadaan terhadap upaya politisi melakukan praktik politik uang. 


"Politik uang itu sekilas enak-enak saja, kita bisa ngambil semuanya tanpa kita punya kewajiban untuk memilih orang itu. Tapi tetap saja itu kan jangka panjangnya merugikan kita sebagai bangsa," tutur Alissa. 


Belajar dari Pilgub DKI Jakarta

Secara jujur, Alissa mengungkapkan kekhawatirannya, peristiwa yang terjadi pada pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada sekitar tahun 2016-2017 terulang kembali. 


"Kita nggak ingin mengulangi kejadian di Jakarta. Pilgub yang sampai seperti itu, sampai demo gede-gedean atas nama agama, bahkan kasusnya riil, ketika ada ancaman bagi orang yang memilih Non-Muslim tidak dishalati jenazahnya," ucap Alissa.


Menurut putri sulung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, tekanan sosial karena dianggap tidak membela agama akan terasa sangat berat kalau sampai terjadi lagi. Sebab hingga kini, kata Alissa, luka akibat perpecahan itu belum sembuh seutuhnya.


Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini juga mengingatkan warga NU untuk tidak terlalu memakai hati dan membawa perasaan ketika memilih pada Pemilu 2024 kelak. Sebab para politisi itu, usai kontestasi berlangsung, mereka akan kembali saling bertegur sapa sampai bagi-bagi kue 'kekuasaan'. 


"Kalau kalah ya sudah, mereka ngopi-ngopi bareng. Contohnya Pak Prabowo, setelah bertarung dengan Pak Jokowi ya bergabung. Sementara pendukungnya tuh sudah kadung anti-antian sampai kayak mau mati. Kan sayang sekali kalau keluarga dan persaudaraan pecah," tutur Alissa. 


Ia berharap, seluruh warga bangsa, khususnya Nahdliyin, dapat mengingat pengalaman pada Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Kalau beda pilihan, kata Alissa, harus diterima sebagai keniscayaan dan jangan sampai dibawa masuk ke perasaan hingga menghancurkan persaudaraan.


"Ingat, mereka semua itu (politisi) kan sedang menjual dirinya sendiri. Nanti setelah selesai, merekanya akur-akur saja. Mereka ngopi bareng, mereka nanti bagi-bagi kue kekuasaan kok. Jadi nanti siapa dapat apa, berapa kementerian, lewat BUMN, berapa dapat anggaran, pembagian anggaran," katanya. 


Alissa menegaskan, perbedaan adalah rahmat dan banyak pilihan merupakan hal yang baik. Perbedaan pilihan politik harus dimaknai sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Tetapi, jangan sampai gara-gara perbedaan pilihan justru mengorbankan hal yang lebih penting untuk kehidupan.

 
"Jangan sampai kita kehilangan orang yang dekat dengan kita, sementara orang-orang yang kita belain sampai mati-matian itu nggak mati-matian belain kita," tegas Alissa. 


Jauhi Politik Identitas Agama

Sementara Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Ubaidullah Shodaqoh juga mengimbau warga NU untuk menjauhi politik identitas agama. Menurut Kiai Ubaid, politik identitas sangat berbahaya karena hanya memiliki satu pertimbangan saja, yaitu agama. 


"Pokoknya Islam. Entah itu koruptor atau tidak, pokoknya Islam. Jadi sudah tidak mempertimbangkan kemaslahatan masa depan bangsa. Yang dibawa adalah idiom-idiom agama," katanya.


Kiai Ubaid menegaskan, siapa pun boleh-boleh saja berkampanye memakai dalil Al-Qur'an, tetapi ketika agama dijadikan satu-satunya pertimbangan untuk memilih maka akan sangat membahayakan.


"Ya memang setiap orang memiliki identitas, tapi bukan pertimbangan satu-satunya. Agama itu bukan pertimbangan satunya, tapi harus ada pertimbangan yang lain," katanya. 


Kepada warga NU, Kiai Ubaid mengingatkan soal pentingnya membaca kembali Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU yang disusun dan disahkan dalam Muktamar ke-28 NU pada 1989 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.


"Karena itu bagi NU, orang-orang NU harus kembali ke sembilan pedoman berpolitik NU yaitu dengan sopan, santun, karena kita ini mau memperbaiki negara yang kalau dengan cara merusak itu tidak mungkin," kata Kiai Ubaid.


Berikut 9 Pedoman Berpolitik Warga NU:

  1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. 
  2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat. 
  3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. 
  4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
  6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah
  7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
  8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama. 
  9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin