Nasional

INDEF Soroti Harga Beras di Era Jokowi yang Melambung Paling Tinggi

Sel, 5 Maret 2024 | 12:00 WIB

INDEF Soroti Harga Beras di Era Jokowi yang Melambung Paling Tinggi

Omset penjual beras di Pasar Rumput, Jakarta, menurun karena harga beras naik yang menyembabkan pembeli berkurang (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menyampaikan catatan kondisi sosial-ekonomi Indonesia pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama hampir 10 tahun, di antaranya kenaikan harga beras.  


Menurut dia, kenaikan harga beras pada era Jokowi yang mencapai 18 % merupakan kenaikan paling tinggi sejak era Orde Baru. Hal itu merupakan dampak dari kebijakan pemerintahan yang kolutif di berbagai sektor yang berdampak buruk terhadap perekonomian nasional. 


“Pemerintahan yang kolutif ini sangat terasa di berbagai sektor seperti harga-harga kebutuhan pokok. Harga beras misalnya naik 18%. Ini kenaikan paling tinggi sejak era Orde Baru,” katanya saat menjadi narasumber Diskusi dan Konsolidasi bertajuk Darurat Nasional: Rusaknya Tata Kelola Negara yang digelar Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Salemba, Jakarta Pusat, Senin (4/3/2024) sore. 


Tak hanya itu, Abra juga menyinggung soal strategi komunikasi Presiden Jokowi dalam menjawab persoalan harga beras. Jokowi seakan menjauhkan diri dari tanggung jawab terhadap beban yang ditanggung masyarakat. 


Menurut Abra, seharusnya seberapa gencarnya pertanyaan-pertanyaan publik, harus dijawab dengan jawaban yang menenangkan, bukan malah menghindarinya. Jika menghindar, akan muncul asumsi bahwa pemerintah memang tidak sanggup melakukan stabilisasi harga beras maupun kebutuhan pokok lain. 


“Dan kita paham dari awal. Jokowi ingin menciptakan swasembada pangan, tapi impor kita 3 juta ton dan tahun ini akan meningkat 4 juta ton. Sudah impornya besar, herannya harga beras tidak turun. Lagi-lagi alasannya el nino, pembatasan ekspor negara-negara lain, musim hujannya panjang, tapi tidak habis pikir program bansos dirapel jelang pemilu,” bebernya. 


Abra sebelumnya juga menyorot soal kemiskinan dan pengangguran di era Jokowi. Sejak terpilih menjadi Presiden RI tahun 2014 dan 2019, Jokowi menargetkan kemiskinan turun menjadi 6 hingga 7,5 %. Namun kenyataannya, kemiskinan di Indonesia hingga saat ini mencapai 9,3 %. 


Lalu masalah pengangguran, Jokowi menargetkan pengangguran di Indonesia turun menjadi 3,5 hingga 4 %, tapi kenyataannya, pengangguran di Indonesia per hari ini masih pada angka 5,2 %. 


“Menariknya 20 % generasi Z. Artinya kalau pemerintah menutup mata fakta-fakta persoalan sosial, terkhusus anak muda yang masih ada idealisme, ini akan jadi bom waktu; ketika para elite begitu vulgarnya mendistribusikan kekuasaan dan fasilitas negara untuk kepentingan kelompok atau keluarga; ini berbahaya,” tuturnya. 


Dalam kesempatan yang sama, Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya mengungkapkan catatan terkait demokrasi di Indonesia. Menurutnya, pelaksanaan demokrasi di Indonesia baru sebatas prosedural, belum mengarah kepada praktik demokrasi yang substansial. 


“Kalo kita kaji dan teliti bersama-sama, tidak pernah ada satu tindakan ekses demokrasi yang substansial; karena kalau berbicara soal praktek demokrasi, demokrasi hanya dimaknai prosedural. Artinya dia hanya kemasan yang berganti rumah, berganti tubuh tapi pada akhirnya tata kelola demokrasi itu dijalankan persis dengan cara-cara pemerintahan yang otoriter,” ujarnya. 


Ia menambahkan, di Indonesia sendiri selalu terjadi siklus perubahan atau perbaikan setiap 30 tahun sekali. Misalnya 30 tahun sebelum 1965, terjadi upaya mengorganisir gerakan anak muda melawan kolonialisme dan 30 tahun selanjutnya transisi orde lama ke orde baru. 


“Tiga puluh tahun setelahnya ada Reformasi, gerakan tahun 95 yang melahirkan Forum Demokrasi itu yang akhirnya jadi cikal bakal dan upaya-upaya perlawanan dan memobilisasi perangkat masyarakat atau warga itu kemudian menjatuhkan Soeharto,” tuturnya. 


Diskusi tersebut juga menghadirkan beberapa penanggap yakni Ketua Umum HMI MPO Mahfud Hanafi, Ketua PB PMII Yogi Apendi, dan Direktur Eksekutif LOKATARU Foundation Delpedro Marhaen. Kegiatan ini juga dihadiri ratusan kader PMII dari berbagai daerah. 


Adapun beberapa tema yang dibahas dalam diskusi tersebut yakni masalah pemberangusan demokrasi, pemberangusan dan pelanggaran HAM, maraknya praktek KKN, mahalnya harga-harga kebutuhan pokok rakyat, mahalnya biaya pendidikan, semakin bengkaknya utang negara, perusakan lingkungan dan konflik agraria, kecurangan pemilu dan posisi dan pertanggungjawaban Presiden.