Nasional

Ini Alasan Fatayat NU Dorong DPR Segera Sahkan RUU PKS

Jum, 30 Agustus 2019 | 11:44 WIB

Ini Alasan Fatayat NU Dorong DPR Segera Sahkan RUU PKS

Ketum PP Fatayat NU Anggia Ermarini (tengah) didampingi dua pengurusnya (Foto: Syakir NF/NU Online)

Jakarta, NU Online
Pimpinan Pusat (PP) FATAYAT Nahdlatul Ulama mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia agar segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini melihat RUU PKS dapat memberikan perlindungan bagi para korban kekerasan seksual yang belum optimal penanganannya.

"Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini akan segera disahkan, dipandang akan mampu memberikan jalan keluar untuk perlindungan perempuan dan sekaligus menjawab rasa keadilan di masyarakat," ujarnya kepada awak media di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (30/8).

Lebih jauh, Anggi mengungkapkan bahwa RUU tersebut setidaknya memenuhi beberapa unsur penting. Pertama, katanya, perluasan definisi kekerasan seksual yang pada kenyataannya bukan hanya melulu terjadinya hubungan intim saja, melainkan perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa dan bertentangan dengan kehendak seseorang. Perbuatan tersebut menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

"Hal itu selaras dengan nilai agama yang melihat kekerasan seksual terjadi sejak berabad-abad silam," ujarnya.

Hasil Munas Alim Ulama yang dilaksanakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 27 Februari sampai 1 Maret 2019 menyatakan bahwa kekerasan seksual dalam keterangan syariat merupakan segala tindakan yang melampaui batas syariat yang dilakukan terhadap orang yang menjadi hak dan tanggung dari pelaku, perzinahan dengan orang lain yang disertai “ancaman”, dan persetubuhan yang dilakukan tidak hanya pada organ intimnya dengan dasar paksaan.

Di samping itu, perluasan bentuk dan jenis kekerasan seksual juga, jelasnya, mengalami perkembangan luar biasa. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dulu hanya dipahami sebagai paksaan interaksi hubungan intim, kini berkembang sedemikian pesat menjadi beberapa macam, yakni pelecehan seksual; eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran,    perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.  

Sementara yang termasuk jenis-jenis kekerasan seksual dalam pandangan syariat meliputi tiga hal, yakni (1) segala perbuatan yang dapat mengantar pada perbuatan zina atau perbuatan fâhisyah (tabu), (2) pandangan langsung baik terhadap lawan jenis atau sejenisnya tanpa perantara media dengan niat melecehkan, (3) adakalanya kejahatan merupakan hasil kombinasi antara tindakan pemerkosaan yang disertai dengan pembunuhan, atau penghilangan fungsi anggota tubuh, dan (3) segala tindakan yang melampaui batas syariat yang dilakukan terhadap    orang yang menjadi hak dan tanggung dari pelaku, perzinahan dengan orang lain yang disertai “ancaman”, dan persetubuhan yang dilakukan tidak dilakukan pada “Miss V” yang disertai dengan adanya unsur paksaan.

Anggi juga menjelaskan bahwa RUU PKS ini sangat penting guna penanganan dan pemulihan serta rehabilitasi pada korban secara optimal dan penindakan pada pelaku. Pasalnya, nilai-nilai Islam sudah meletakkan definisi korban harus mendapat dan layak mendapat pendampingan. Mereka juga tidak boleh mendapatkan perundungan.

Terakhir, RUU PKS juga memuat adanya pengaturan perlindungan pada korban agar korban kekerasan seksual khususnya perzinahan tidak boleh mengumumkan korban kekerasan seksual selagi tidak ada pertimbangan mashlahah yang besar.

Oleh karena itu, Fatayat NU mengharapkan keseriusan dan kepastian dari DPR RI dan pemerintah untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Undang-Undang.

"Kewenangan lembaga negara yang menangani terjadinya kekerasan seksual harus mampu melakukan upaya yang optimal agar perempuan terbebas dari cengkraman kekerasan seksual," ujar perempuan kelahiran Sragen, Jawa Timur itu.

UU tersebut diharapkan memuat materi pengaturan perlindungan yang komprehensif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya, serta harus berperspektif korban sehingga menjadi landasan perlindungan optimal bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya dari tindak kekerasan seksual. Sehingga, UU tersebut membawa kemaslahatan bagi umat manusia, dunia dan akhirat.
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi