Nasional

Ini Komitmen Sarbumusi NU Terhadap Buruh Indonesia

Jum, 5 Februari 2016 | 04:00 WIB

Jakarta, NU Online
Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) merupakan Badan Otonom Nahdlatul Ulama (NU) yang menangani persoalan perburuhan. Didirikan pada 27 September 1955 di pabrik gula Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur dan pernah mengalami masa kejayaan dengan anggota mencapai 2 juta orang sehingga mampu menjadi pesaing kuat Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) organisasi buruh milik Partai Komunis Indonesia (PKI). Seperti apa komitmennya terhadap persoalan buruh hari ini?
    
"DPP Konfederasi Sarbumusi selalu mendorong terciptanya hubungan industrial yang kondusif  dan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia ini," ujar Ketua Umum Sarbumusi Syaiful Bahri Anshori didampingi Sekretaris Jendral Sukitman Sudjatmiko, di Jakarta, Jumat (5/2).

Syaiful menegaskan, DPP K Sarbumusi menyayangkan perusahaan multi nasional PT Chevron Pasific Indonesia yang sudah melakukan hubungan kerja sejak lama di Indonesia tapi seolah-olah tidak mengetahui kondisi peraturan dan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa amanat konstitusi regulasi ini setiap persoalan dan dinamika dalam hubungan industrial di perusahaan harus dirundingkan dalam forum Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit.

Dalam undang-undang ini LKS Bipartit didefinisikan sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat buruh.

Regulasi dimaksud dijabarkan lebih lanjut dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja bahwa LKS Bipartit mempunyai fungsi-fungsi sebagai forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah antara pengusaha dan wakil serikat buruh pada perusahaan dalam konteks mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial atau PHK.

"Kami menyayangkan Manajemen PT Chevron Pasific Indonesia yang merencanakan re-organisasi perusahaannya namun dengan arogan tidak pernah melakukan perundingan apapun secara Bipartit sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tapi malah lebih mentaati peraturan korporatnya yang berada di negara asing tanpa mau mengindahkan aturan main ketenagakerjaan di Indonesia," ujar Syaiful.

Dalam kebijakan perusahaan tersebut, patut diduga bahwa persoalan kenaikan harga minyak dunia hanya sebagai alasan dan alibi yang menemukan momentum tepat untuk mengurangi karyawan dan melakukan re-organisasi.

"Ini dibuktikan dengan laporan dari kawan-kawan GB-Migas Sarbumusi PT Chevron Pasific Indonesia terhadap rencana re-organisasi tersebut yang mulai disosialisaikan oleh pihak manajemen mulai Mei 2015 hingga Januari 2016. Namun dalam rentang waktu itu, manajemen PT Chevron selalu menggunakan komunikasi satu arah untuk memaksakan kehendaknya atas re-organisasi perusahaan atau bahasa perusahaan adalah IBU Transformation project. Terhadap persoalan semacam itu, Sarbumusi dengan tegas menyerukan menolak berbagai bentuk penindasan buruh dengan cara memperkuat persatuan dan solidaritas di antara sesama buruh dan rakyat Indonesia" Syaiful Bahri Anshori. (Gatot Arifianto/Mukafi Niam)