Nasional

Ini Penyebab Sekolah Kerap Memaksakan Jilbab kepada Muridnya

Rab, 3 Agustus 2022 | 20:00 WIB

Ini Penyebab Sekolah Kerap Memaksakan Jilbab kepada Muridnya

Ilustrasi: Empat siswa berjilbab di sebuah sekolah di Yogyakarta, 29 Juli 2020. (Foto: Getty via BBC Indonesia)

Jakarta, NU Online

Penulis buku Feminisme Kritis, Amin Mudzakkir menilai kasus pemaksaan jilbab terhadap seorang siswi SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terjadi karena adanya tekanan sosial.


“Sebetulnya di sekolah negeri tidak ada peraturan yang memaksa murid untuk mengenakan jilbab. Jika terjadi demikian maka itu pasti karena tekanan sosial,” kata Amin saat dihubungi NU Online via telepon, Rabu (3/8/22).


Yang lebih penting diperhatikan oleh tenaga pendidik menurut pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat ini adalah sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk peserta didik menimba ilmu. 


“Yang paling penting sebenarnya, sekolah itu harus menjadi tempat yang nyaman bagi siapapun dengan identitas apapun. Tentunya dengan memperhatikan kesopanan,” tutur doktor lulusan STF Driyarkara itu.


Amin menerangkan, aturan mengenai atribut atau seragam bagi peserta didik telah ditetapkan pemerintah dalam persoalan pemakaian jilbab di sekolah selama ini bersifat kasuistik. Persoalan muncul, karena ada unsur pemaksaan di sekolah negeri.


“Pengelolaan sekolah dari dasar hingga menengah itu diserahkan kepada pemerintah daerah (Pemda) di atasnya baru pemerintah pusat. Jadi, di sini persoalan utamanya itu interpretasi guru atau lingkungan,” terangnya.


Dosen Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu menegaskan bahwa kasus-kasus semacam itu biasanya lebih didasarkan kepada interpretasi pribadi dibanding peraturan pemerintah yang sudah ada.


“Lebih didasarkan kepada interpretasi pribadi terhadap keyakinan agama mereka karena dalam regulasinya itu tidak ada,” tegasnya.


Ia beranggapan bahwa kasus-kasus semacam ini akan terus terjadi lantaran aturan baru yang dibuat sendiri oleh pihak pengelola sekolah.


“Anjuran atau imbauan lisan semacam ini sudah pasti akan terus terjadi,” ujarnya. 


Kronologi kasus pemaksaan jilbab di SMAN 1 Banguntapan

Dalam beberapa pemberitaan disebutkan, kasus pemaksaan jilbab ini bermula pada 19 Juli 2022, lalu, ketika siswi tersebut dipanggil guru Bimbingan Konseling (BK) ke ruangannya, dan ditanya terkait keputusannya tidak memakai jilbab. 


Siswi tersebut menyatakan bahwa meski kedua orang tuanya sudah membelikan seragam lengkap dengan jilbabnya, dia memang belum mau memakainya. Namun, keputusan itu ditolak oleh guru BK dengan tetap memaksa siswinya memakai jilbab. 


Karena tidak mau, akhirnya siswi tersebut meminta izin untuk pergi ke toilet dan menangis hingga hampir satu jam lamanya. 


Guru BK yang khawatir memutuskan untuk menjemputnya, dan menemukan siswi tersebut sudah dalam keadaan lemas di dalam toilet. Selanjutnya, dia menjalani perawatan di ruang UKS.


Aturan pemerintah tentang penggunaan atribut dan seragam

Pemerintah merilis aturan mengenai seragam dan atribut bagi peserta didik dan tenaga pendidikan di lingkungan sekolah negeri untuk menghindari intoleransi.


Aturan ini terangkum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah yang diteken oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama.


Kebijakan ini diteken setelah banyaknya temuan kasus pemaksaan dan pelarangan menggunakan seragam dan atribut sekolah yang didasarkan pada agama tertentu.


Sebelumnya, muncul polemik karena SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat mewajibkan seluruh siswinya untuk mengenakan jilbab. Orang tua murid dari siswi yang dipaksa mengenakan jilbab mengajukan protes kepada pihak sekolah karena keluarganya non-muslim. Hal ini juga mengundang perhatian publik di jagat maya.


Pewarta: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad